Dari Didi Kempot Hingga Angkot




Tahun 2000an awal, tinggal di daerah Jawa Tengah, alhamdulillove keluarga kami punya radio yang menemani ibu saat menjahit baju-baju pesanan, memutar siaran-siaran dari stasiun radio itu itu saja;  campursari dari subuh, menyusul tembang kenangan agak siang sedikit, dangdut kemudian, berulang-ulang, tiap hari, sampai-sampai nglotok – hapal playlistnya ternyata itu-itu saja. Alhamdulillove juga keluarga kami punya TV berwarna 14inch dengan seperangkat VCD Player beserta keping-keping VCD bajakan yang dibeli murah meriah di lapak-lapak pinggir jalan atau hasil pinjam di persewaan VCD tetangga dekat rumah, sehingga aku yang belum sunat saat itu tidak asing mendengar lagu-lagu campursari Manthous, Nurhana, atau Didi Kempot diputar berulang-ulang, sampai-sampai nada dan liriknya nglotok - hapal di luar kepala. (Bisa bayangkan juga bagaimana anak-anak sekarang sampai nglotok – hapal di luar kepala Mars Partai MNC group : Marilah seluruh Rakyat Indonesia.... Arahkan langkahmu, ah sudahlah)

Aku lebih suka mendengarkan lagu lagu Didi Kempot dibandingkan lagu-lagu  (almarhum)Manthous yang sudah lebih dulu terkenal atau Nurhana yang kala itu masih sangat cantik (sekarang juga masih cantik kok mbak ;) ), bukan karena Didi Kempot adalah anak Ranto Gudel, pelawak terkenal asal Solo atau karena ia menjadi pengamen jalanan sukses yang menyematkan nama KEloMpok Pengamen trOToar (kempot) di belakang nama aslinya, namun karena lagu-lagunya memang mendayu-dayu, mungkin karena kupingku kuping melayu, suka yang sendu-sendu, yah begitulah seperti Efek Rumah Kaca bilang: lagu cinta melulu.

Salah satu lagu Didi Kempot yang paling terkenal berjudul Stasiun Balapan, kalian se-Indonesia Raya harusnya tahu, kalau tidak tahu, kalian lebih ndesit dari bule-bule dan pak le - pak le di Suriname sana. Begini sepenggal lagu legendaris itu :

Ning Setasiun Balapan
Kutha Solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku
Nalika ngeterke lungamu

(jeng jet jeng jet... jet jet jet)

Ning Setasiun Balapan
Rasane koyo wong kelangan
Kowe ninggal aku
Ra kroso netes eluh ning pipiku[1]
...

Tidak perlu diteruskan sampai bagian refrain karena bisa membuat kita menjadi terlalu sentimentil. Lagu Didi Kempot satu ini memang membuat maskulinitas lelaki seakan hancur lebur berantakan berceceran bermuncratan berhamburan ditabrak kereta yang lewat membawa kekasih pergi tak kembali. Tidak sampai di situ saja. Kejadian sewajah terulang kembali di Pelabuhan Tanjung Mas – Semarang ketika Didi Kempot ditinggal pergi lagi kekasihnya dengan kapal laut.
....
Aku sih kelingan
Nalika ing Pelabuhan
Kowe janji lungo ra ono sewulan
Nanging saiki wis luwih ing janji
Nyatane kowe ora bali-bali

Ning Pelabuhan Tanjung Mas Kene
Mbiyen aku ngeterke kowe
Ning Pelabuhan Semarang kene
Aku Tansah ngenteni kowe[2]
....
Duh, Mas Didi, aku doakan semoga kapal yang membawa kekasih tak setia itu menabrak es batu nyasar biar tenggelam hingga hampir 11km di dasar Palung Mariana. Panjenengan mungkin akan lebih menerima kekasih itu (walaupun tak setia) diambil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dibanding jika diambil oleh tangan-tangan lelaki lain seakan tanpa dosa.

Tapi, lagi-lagi ditinggal pergi kekasih sampai dua kali ternyata tidak bikin kapok. Sekali lagi Didi Kempot dibuat jadi apalah oleh kekasih saat mengantarkannya pergi di Terminal Tirtonadi – Solo.

Nalikane ing Tirtonadi
Ngenteni tekane bis wayah wengi
Tanganmu tak kanthi
Kowe ngucap janji
Lungo mesti bali

Rasane ngitung nganti lali
Wis pirang taun anggonku ngenteni
Ngenteni sliramu
Neng kene tak tunggu
Nganti sa’elingmu[3]
....

Sudah cukup! Sudah cukup! Sudah cukup tiga kali ditinggal pergi kekasih tak setia, Mas Didi! Jangan ditambahi lagi dengan kisah seperti Cinta dan Rangga di Bandara Sukarno Hatta. Melebihi bahkan mendahului kisah Rangga dan Cinta, Panjenengan kalau boleh didaulat sebagai simbol Prasetyo (kesetiaan) tak terbatas, Kanjeng Gusti Didi Prasetyo, terjadilah! Aku sendiri yang cuma ikut nyanyi sampai geregetan, apalagi panjenengan. Sejak kereta api, kapal laut hingga bus selalu saja membuat ingatan buruk  tentang cinta, terlepas pelayanan transportasi umum massal di negeri ini memang sudah buruk bahkan sejak aku orok. Kalaupun dibenahi malah membuat ingatan buruk baru lagi bagi pihak-pihak yang sudah lama hidup dari remah-remahnya : pedagang-pedagang asongan, pendagang pecel, pedagang kaki lima , warung-warung yang terusir dari stasiun-stasiun ketika pelayanan kereta api dibenahi beberapa tahun lalu hingga sekarang ; juga terminal-terminal bus baru pada umumnya jauh, tidak strategis sehingga sepi calon penumpang, desain terminal yang payah, mudah rusak, tak terawat, tidak menarik, dagangan pedagang-pedagang di dalamnya pun lesu.

Alasan alasan sentimentil sesentimentil soal kenyamanan, keamanan, ketertiban, kesejahteraan,dan kemakmuran cinta itulah yang mungkin membuat banyak orang baper kemudian berpindah moda transportasi: dari angkutan umum massal menuju angkutan pribadi. Aku ingat seorang teman yang dulu berangkat-pulang kantor naik Trans Jakarta kemudian memilih menyicil (mungkin sekarang sudah lunas) motor karena malas antri, gerah, menghirup bau ketek ,berjejalan, berdesakan, bersesakan, bergesekan nikmat, ketika naik Trans Jakarta di jam-jam sibuk. Beberapa waktu berselang, karena alasan malas pakai jas hujan, ia berangan-angan akan menyicil sebuah mobil agar tidak repot lagi saat hujan turun. Alangkah makmurnya temanku ini. Tapi tenang, bagi yang belum makmur, atau memang ingin berhemat cenderung memilih moda transportasi pribadi komersial semacam taksi atau ojek. Duh, sekali lagi ingat! Taksi atau ojek pada dasarnya bukan moda transportasi umum massal! Ketika menggunakan taksi atau ojek, kita layaknya menggunakan motor atau mobil dengan sopir pribadi, bukan?

Maka, ketika selasa lalu (22/3) sopir-sopir taksi dan ojek baik  yang online maupun offline saling tawuran seperti anak STM labil, aku, bersama Bapak Mantan Presiden SBY merasa turut prihatin. Prihatin bukan saja karena orang-orang kecil ditarungkan dengan sesama orang-orang kecil sementara bos-bosnya aman tenteram menikmati kericuhan dari TV atau gawai mereka, namun juga prihatin karena mengurusi persoalan mutakhir moda transportasi pribadi komersial tersebut ternyata lebih seksi dibanding mengurusi persoalan klise ruwetnya moda transportasi umum massal yang sesungguhnya jauh lebih efektif ruang mewadahi pergerakan homo economicus itu hilir mudik antara pusat dan tepi. Bukan juga karena sharing economy lewat pemanfaatan aplikasi secara online akan membuat negeri ini bisa-bisa mengalami deflasi (alih-alih inflasi) karena meringkas segala jenis biaya, memurahkan segala macam harga ,termasuk tarif transportasi, seperti kata Prof. Rhenald Kasali [4], tapi moda transportasi berbasis aplikasi online seperti : Go-jek, Uber, Lyft, Grab, atau Nebeng, tetap saja bukan moda transportasi umum massal, moda transportasi ini meskipun untuk umum tetap saja memakai kendaraan pribadi! Ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kemudahan mendapat pemasukan tambahan akibat membludaknya permintaan akan pelayanan transportasi yang wooke syip via online ini justru akan membuat makin banyak kendaraan pribadi berubah menjadi kendaraan pribadi komersial, bukan sebagai ridesharing, tapi cenderung sebagai aset yang memberi passive income, seperti booming properti yang cenderung serakah, kacau bukan? Populasi kendaraan pribadi sudah membengkak, jalanan kota tidak mampu menampung, macet, salahkan pemerintah, mudah! Mudah, ndulmu!

Di jakarta saja perbandingan pertumbuhan jalan yang cuma 0,01% per tahun sangat njegglek – timpang dengan pertumbuhan kendaraan pribadi sebesar 10-15% per tahun. Jakarta saat ini yang berpenduduk 9,5juta jiwa sudah dihuni 12juta kendaraan bermotor, itu terus bertambah 5500-6000 unit kendaraan per hari, dari jumlah tersebut sebagian besar didominasi sepeda motor yang mencapai 4000-4500 unit tiap harinya. Kalian masih mau nuntut pertumbuhan jalan sesuai pertumbuhan kendaraan pribadi?Berapa, 10-15% per tahun? Itu kota apa arena balapan tamiya? Isinya kok jalanan sama kendaraan tok? Memang sih, kata Ahok dan jajarannya rasio jalanan Jakarta masih jauh dari ideal, masih di kisaran 6-7% dibandingkan idealnya sebesar 12%, tapi menganggap pertumbuhan rasio jalanan dan pertumbuhan kendaraan pribadi sebagai indikator kemajuan sebuah kota merupakan sebuah sesat pikir.

Ellisa Sutanudjaja, mantan dosen dari UPH dan peneliti perkotaan di RUJAK Center for Urban Studies pernah mengingatkan bahwa Pemerintah DKI perlu fokus pada percepatan pembangunan sistem dan jaringan transportasi umum massal yang terintegrasi dan menghubungkan titik-titik strategis dan konektivitas antarkota dalam konsep megapolitan Jabodetabek[5]. Koneksi yang baik antar kota di tepian Jakarta ini memang perlu dan mendesak karena pola komuter sudah jauh berubah. Tahun 2002 warga dari tepian yang hilir mudik ke Jakarta 40% masih menggunakan kendaraan umum massal, seperti bus dan kereta, tetapi tahun 2010 kondisi itu berbalik, 50% beralih menggunakan kendaraan pribadi sedangkan pengguna kendaraan umum massal menyusut menjadi 17%. Makin banyaknya kendaraan di jalanan Jakarta ini membuat kecepatan perjalanan rata-rata semakin melambat 0,82-0,83 km/jam tiap tahunnya. Jika tahun 2011 kecepatan rata-rata untuk menempuh Pasar Minggu hingga Manggarai di jam-jam sibuk saja sudah 6,1km/jam, maka dengan hitung-hitungan goblok, tidak perlu menunggu sampai 8 tahun jalur tersebut akan mengalami deadlock – macet total kalau tidak segera dilakukan tindakan apapun. Yang kita butuhkan memang  sistem dan jaringan transportasi umum massal yang memberi kemudahan dan kecepatan akses ke tempat-tempat strategis ,dengan demikian akan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, orang-orang beralih menggunakan Trans Jakarta, kereta, metromini, mikrolet atau angkot yang sudah direvitalisasi dan saling terintegrasi satu sama lain.  Aku sendiri setuju dengan pendapat Enrique PeƱalosa, walikota Bogota tahun 1998-2001 yang terpilih lagi pada 2015 lalu dan akan menjabat hingga 2019 mendatang, bahwasanya sebuah kota yang maju bukanlah kota dimana orang-orang miskin mampu bepergian menggunakan mobil pribadinya, tetapi sebuah kota dimana bahkan orang-orang kaya mau bepergian menggunakan transportasi umum massal. Bukankah lebih menyenangkan  seandainya di dalam Metromini S.77 jurusan Blok M- Ragunan yang sudah direvitalisasi Full AC, duduk bersebelahan dengan Nadiem Makarim yang tiba-tiba curhat soal bisnis onlinenya yang baru, tapi sayangnya hingga dia turun di Jalan Bangka Raya No.2, kalian sama sekali nggak dong dengan yang dia curhatkan? Tapi sudahlah ya, kalian yang bebal, saat ini mungkin lebih memilih duduk nyaman dalam kendaraan pribadi berAC , bermacet-macet ria sambil saling mengutuk. (Ya, Allove, sekali lagi, jauhkanlah hambamu ini dari saling mengutuk.)

Namun semakin kesini aku malah jadi curiga, jangan jangan orang-orang sebangsa kalian ini, salah tiganya adalah kekasih-kekasih Mas Didi Kempot yang tidak  mau pulang dengan kendaraan umum massal karena sudah kepincut dengan kenyamanan, keamanan, ketertiban, kesejahteraan , dan kemakmuran cinta kendaraan pribadi (komersial). Mungkin kekasih-kekasih yang tanpa sepengetahuan Mas Didi sebenarnya sudah pulang ke Solo atau Semarang pakai mobil pribadi atau Uber Taxi karena tidak mau lagi naik kereta, bus, atau kapal api. Eh! Owalah Mas Didi, sudah bertahun-tahun nunggu di stasiun, terminal, dan pelabuhan,ternyata panjenengan kecelik!

Tapi tenang,Mas, aku masih punya kenalan, seorang teman yang suka sekali jalan kaki dan naik angkot kemana-mana, mungkin dia memang pantas ditunggu, entah berapa purnama berlalu. :)

....


[1] Terjemahan : 
Di Stasiun Balapan,
Kota Solo (Surakarta) jadi kenangan
Kau dan Aku
saat mengantar kepergianmu

Di Stasiun Balapan
Rasa seakan kehilangan
Kau tinggalkanku
Tiada terasa air mata di pipiku
....
[2] Terjemahan :
Aku masih ingat
di pelabuhan
Kau janji pergi tak sampai sebulan
tapi telah kau lewati janji
pergi tak pernah kembali

Di Pelabuhan Tanjung Mas ini
dulu aku mengantar kepergianmu
Di Pelabuhan Semarang ini
Aku masih selalu menunggu kedatanganmu
....
[3] Terjemahan :
Tirtonadi
menunggu bus malam tiba
kugenggam tanganmu
kau mengucap janji
akan kembali

Menghitung hingga terlupa
sudah ber tahun aku menunggu
menunggumu
di sini menunggu
hingga kau ingat aku
....
atau lihat : The Coordinating Ministry of Economy Affairs The Republic of Indonesia and Japan International Cooperation Agency (JICA), March 2012, JABODETABEK Urban Transportation Policy Integration Project in the Republic of Indonesia – Final Report.

Komentar

Postingan Populer