Ada Api di Dalam Tubuhku




Sabtu pagi aku mendapat telepon dari Ibu, mungkin rindu, anaknya tak pernah memberi tahu kabar di perantauan. Di ujung telepon Ibu bercerita tentang kabar menggemparkan yang sedang terjadi di kampung, sebenarnya malam sebelumnya adik sudah memberi tahu kabar itu lewat whatsapp, kabar simpang siur, seperti jalan tol di di depan kantor yang berisik ,tak pernah sepi ,namun pada akhirnya juga terbiasa tak lagi aku hiraukan. Ada apa?Pertanyaanku singkat, mungkin terdengar dingin.

Rumah tiga bersaudara, tetangga di RT sebelah mengalami kebakaran yang aneh beberapa kali berturut-turut sejak kamis kemarin. Dimulai dari kamis pagi, ketika rumah-rumah mulai sepi setelah orang-orang pergi ke kantor, ke sekolah, atau ke pasar, balita-balita memulai ritual tidur pagi sedangkan nyamuk-nyamuk demam berdarah mulai beraksi, terjadi kebakaran hebat pada salah satu rumah dari tiga rumah tiga bersaudarayang dibangun saling berhimpitan memanjang berderet dari barat ke timur. Anehnya, api yang membakar habis satu rumah paling barat ,dari bawah hingga ke ujung atap tak merambati dua rumah lain di sebelahnya persis, pun tidak dengan rumpun bambu di belakang rumah yang biasanya mudah tersulut api. Satu dari tiga bersaudara tersebut kehabisan harta benda yang ada di dalam rumah yang terbakar. Sehari kemudian, untuk menghindari kebakaran serupa, barang-barang milik dua saudara yang lain dikeluarkan dari dalam rumah ke halaman depan ,dinaungi terpal serupa tenda-tenda pengungsi bencana, sebagian barang yang tidak tertampung di halaman dititipkan pada tetangga di depan. Tetapi tiba tiba barang-barang itu terbakar sendiri tanpa ada sebab penyulut, tikar terbakar, kasur sendiri terbakar, kasur sumbangan terbakar, barang-barang elektronik terbakar, sikat gigi ikut terbakar, bahkan jemuran sedang dijemur di halaman tiba-tiba tersambar api yang muncul secara ajaib disaksikan sendiri oleh seseorang yang kebetulan sedang lewat. Tetangga di depan rumah yang dititipi barang-barang ungsian kemudian menjadi takut, akhirnya memindahkan barang-barang ungsian ke Mushola dan dijaga beramai-ramai.

Pemilik dan para tetangga mulai berspekulasi, polisi-polisi datang , semula menduga kebakaran terjadi (selalu) akibat korsleting listrik namun ujung-ujungnya hanya  geleng-geleng kepala, dugaan mereka tidak terbukti. Ada juga yang membangun spekulasi kebakaran terjadi akibat kandungan gas alam dari dalam tanah yang terkonsentrasi pekat di ruang-ruang dalam rumah, tapi spekulasi itu segera runtuh ketika diketahui api aneh tersebut hanya membakar barang-barang milik pemilik rumah yang terbakar habis dan milik dua saudara lainnya.  Kemudian mulai banyak yang mengait-ngaitkan dengan hal-hal mistis, mungkin santet, teluh, guna-guna, atau mungkin ulah roh semacam lampor, kemawang, banaspati, terlebih setelah terdengar kabar beberapa bulan ke belakang salah satu anak tiga bersaudara itu mengalami kesurupan ketika sedang mendaki gunung,  ada roh jahat merasuki,mengikutinya hingga ke rumah, roh itu mungkin yang membakar barang apapun milik tiga bersaudara itu. Dalam bayanganku kemudian, anak yang pernah kesurupan itu tiba-tiba mengaku: “Ada api di dalam tubuhku,” menirukan pengakuan Margio dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan.  Margio yang membunuh Anwar Sadat, menggigitnya tepat di leher hingga nyaris putus kepala dengan badan, menyisakan bekas muncratan darah di mana mana, di lantai, di wajah, baju tentu saja, dan urat-urat putus di leher Anwar Sadat seperti kabel-kabel berantakan tak karuan. Ketika ditangkap, Margio hanya tenang dan tanpa dosa mengaku : ”Ada harimau di dalam tubuhku.” Apakah semua orang akan percaya?

Dalam Lelaki Harimau, alih alih digiring menelusuri benar tidaknya ada harimau dalam tubuh Margio, kita malah digiring untuk mengenal keluarganya, bahkan jauh sebelum Margio sendiri lahir. Margio yang pendiam tetapi penggiring paling lihai babi-babi buruan, sering terlihat murung dan lebih banyak menghabiskan usia-usia duapuluh-tahunannya minum bir atau arak di warung Agus Sofyan ketika siang dan di pos ronda ketika malam atau di Surau ,tidur dan terbangun di sana saat Ma Soma mengajaknya Sholat Subuh, demikianlah hari-harinya berlalu . Bukannya tidak punya rumah, tapi ia tidak betah berlama lama di rumah melihat sepanjang hidup Nuraeni ibunya selalu dipukuli hingga babak belur oleh Komar bin Sueb suaminya sendiri. Mameh, adik perempuannya hanya bisa diam karena takut dengan bapaknya, begitu juga dengan Margio tidak sekalipun berani melawan. Nuraeni juga tidak pernah berontak sedari awal, melampiaskan kekesalan terhadap suaminya dan kehidupannya yang miris dengan membisu atau lebih sering mengomeli wajan, panci, atau alat-alat dapur lainnya. Sinting!

Semua kesintingan tersebut berawal dari perjodohan yang dilakukan oleh dua keluarga, Nuraeni saat itu masih 12 tahun sedangkan Komar belasan tahun lebih tua darinya, keduanya dijodohkan begitu saja tanpa saling kenal sebelumnya. Hidup dalam kultur semacam ini seperti membeli kucing dalam karung, beruntung jika mendapat kucing manis penurut yang matanya menjadi sayu ketika dielus elus, tetapi lain nasib jika mendapat kucing yang belum disentuh saja sudah memberi luka berdarah bekas cakaran secepat kilat. Nuraeni mendapat nasib buruk itu, mendapatkan seorang Komar, kekasih yang dingin karena sekalipun tak pernah menulis surat cinta yang manis kepadanya, tidak seperti kekasih teman-teman sebayanya yang rutin mengirim surat cinta atau minimal kabar rindu di perantauan. Menanti surat dari Komar yang tak kunjung datang seperti memperjelas kehidupan Nuraeni sudah digariskan miris dan tak ada obat lain selain sabar dan tawakal seperti yang disampaikan para ulama berulang-ulang. Kenapa tidak melawan? Taruhannya selalu satu : nama baik kedua keluarga.

Perangai dingin Komar juga bukan tanpa sebab. Ia merasa malu bercerita kepada kekasihnya, bahwa tidak ada hal yang menarik yang dilakukan selama di perantauan, ia tidak berhasil mendapat pekerjaan di pabrik selayaknya teman-teman perantau lainnya, mendapatkan penghasilan yang tidak seberapa dari tiap tiap kepala orang yang dipangkas rambutnya. Menjadi tukang pangkas rambut, hanya itu keahlian sampingan yang kemudian malah menjadi sandaran hidup bagi keluarganya kelak. Walaupun hidup pas-pasan, Komar toh mampu  membelikan  cincin kawin bagi Nuraeni yang kemudian dijual untuk memiliki sebuah rumah kayu bagi keluarga kecilnya,itu belum termasuk tanah, karena pada masa itu tanah-tanah milik tuan-tuan tanah luas menghampar hingga melewati tapal batas desa, masa ketika banyak keluarga datang dan pergi menenteng kerangka-kerangka rumah, seakan bisa dilipat dan dimasukkan ke dalam karung. Kerangka-kerangka rumah itu datang dengan truk, diturunkan di sebuah tanah kosong, dibangun, ditinggali hingga ketika pemilik rumah memutuskan untuk pindah lagi ia akan membobol dinding bilik bambu, menggulungnya, menenteng kembali kerangka-kerangka kayunya, kemudian seseorang  datang dan menggantikan tempatnya. Rumah milik Komar sebetulnya rumah bobrok dengan dinding bilik bambu  yang bergelombang tak karuan mengembung ke luar ke dalam diterpa cuaca, pulasan kapurnya luntur dan banyak terlepas, lantainya tanah lembab karena tetesan hujan mengucur dari atap genteng bocor, tapi kemudian lantai tanah itu mampu diplester semen bertahap oleh Komar. Namun demikian, usaha-usaha Komar terlihat sia-sia di mata Nuraeni karena sejak surat cinta yang dinanti tak pernah datang pada usia belia lampau itu  ia bertekat bulat  membalas dengan sikap dingin serupa bahkan hingga menikah dan punya dua anak: Margio dan Mameh. Komar, sebagai seorang suami merasa berhak memiliki apapun yang ada pada istrinya termasuk tubuhnya. Seorang istri yang tak tau diuntung, tak bisa diajak kerja sama, tak pernah mau mengerti jerih kerja keras suami, memang sudah sepantasnya mendapat perlakuan yang keras bila kumat tidak mau menurut, begitulah akhirnya Komar sering menghajar istrinya sendiri. Kebencian demi kebencian berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berlarut larut, dendam makin menumpuk berlapis lapis seperti lahan gambut yang mudah terbakar hebat biarpun percik api kecil menyulut. Api yang sudah menyala terus membara, tidak bisa dipadamkan meskipun Komar menjelang akhir hayat berusaha keras berlaku manis, semanis apapun untuk menebus kekeliruan sikapnya, berdamai dengan istri dan anak-anaknya.

Menjelang akhir hayat Komar, ketika ia akhirnya kembali ke rumah berhari-hari setelah Marian meninggal, anak yang lahir prematur dari perselingkuhan Nuraeni dengan entah siapa, hanya Mameh yang menyadari sikap penyesalan bapaknya. Komar tidak biasanya menyembelih ayam-ayamnya sendirian, memasaknya untuk selamatan tujuh hari Marian. Melihat sikap bapaknya itu, kebencian Margio malah menjadi-jadi, berubah menjadi hasrat membunuh setelah berhari hari lalu ia mengetahui ada harimau legenda pada masa kecil sudah bersemayam dalam dirinya. Margio membanting panci di dapur kemudian minggat, Mameh tahu ada harimau dalam tubuh Margio  bahkan sekali ketika pernah melihat bayangan serupa mata kucing di mata Margio, sejak saat itu mengamati raut wajah kelelahan kakaknya menahan binatang buas itu agar tidak keluar dari tubuhnya. Komar tahu  kemarahan anak sulungnya, berpikir anak inilah yang akan menghabisinya, mungkin memenggal lehernya, walaupun kemudian memang benar ia dihabisi Margio, bukan karena leher dipenggal , tetapi karena ketiadaan Margio setelah minggat Komar menjadi sakit sakitan, sekarat, dan akhirnya tamat.

Kabar Komar tamat menyebar, Margio pulang ,berpikir kebahagiaan telah datang dengan ketiadaan Komar. Sebelumnya pun ia sudah melihat kebahagiaan dari ibunya ketika hamil Marian, dan mulai menaruh curiga siapa lelaki yang memberi kebahagiaan pada ibunya. Mungkin Anwar Sadat, karena hari hari ibunya lebih banyak dihabiskan di rumah Anwar Sadat, membantu keluarga itu memasak atau berberes pekerjaan rumah tangga. Dan memang benar Anwar Sadat yang sudah beristri, beranak tiga, dan bercucu satu itulah yang memberi kebahagiaan pada Nuraeni setelah Margio sendiri melihat kemesraan keduanya secara diam diam.  Margio beberapa waktu kemudian memberanikan diri berbicara dengan Anwar Sadat di rumahnya, memberi tahu bahwa ia sudah tau Marian adalah anak dari hubungan  gelap itu, meminta Anwar Sadat menikahi ibunya agar bahagia, tetapi jawaban Anwar Sadat terlampau mengejutkan Margio. Itu adalah waktu ketika sosok harimau keluar dari dalam tubuh Margio, putih serupa angsa.

....
Selesai :)




Komentar

Postingan Populer