Fans
Fans
Hari ini aku
senang karena Inter Milan menang dengan cara efektif dan efisien melawan Napoli
2-0 di San Paolo, markas Napoli sendiri, lalu berangkat ke semifinal Copa
Italia menunggu pemenang antara Juventus sialan dan si tukang PHP Lazio. Aku
lebih berharap bertemu Juventus sialan di semifinal agar Erick Thohir sadar
kita harus secepatnya membangun stadion baru. AC Milan mungkin sudah meletakkan
setengah nyawanya di final karena hanya akan melawan tim dari divisi 3 di
semifinal nanti. Tapi, aku percaya tiga per empat nyawa inter sudah jadi
pemenangnya di final.
Kita sudah haus kemenangan dan gelar. Praktis setelah era Mou (Jose Mourinho), enam tahun lalu, Inter
seolah jadi medioker kocar kacir. Strategi ababil gonta ganti pelatih dan
pemain seperti era sebelum Mou muncul lagi. Aku akhirnya bisa mengucap alhamdulillove
ya robberto Mancini setelah milyuner medioker Moratti sadar bahwa nasib Inter
yang selama ini digenggamnya erat-erat seperti empat balon yang tidak meletus
akan menjadi indah cerah bernuansa pelangi di tangan anak muda Indonesia
seperti Erick Thohir. Dua tahun sejak Moratti mengikhlaskan tim kesayangannya
diobok-obok anak muda Indonesia itu toh berbuah hasil yang lumayan: visi cerdas
di bursa transfer pemain dan pelatih sehingga menghasilkan tim yang cukup
tangguh di musim ini.
Mungkin mbah
Wenger di Arsenal juga perlu belajar manajemen tulus ikhlas dari Moratti agar
Arsenal tidak menjadi tim PHP yang konsisten berada di posisi 2,3,atau 4 tiap
akhir musim kompetisi Liga Primer sejak musim 2003-2004. Begitulah aku akan
mengeluarkan wejangan karena merasa kasihan mempunyai beberapa teman Gooners (fans Arsenal) yang juga sama
sama haus menanti kemenangan dan gelar. Juga para Romanisti (fans AS Roma),
Laziale(Fans Lazio yang biasanya bermusuhan dengan Fans AS Roma), atau
Liverpudlian (Fans Liverpool) dan Steven Gerrard yang hingga gantung sepatu tak
pernah sekalipun mengecup gelar juara Liga Primer bersama Liverpool. Kasihan.
Ya, setulus
tulusnya cinta Steven Gerrard kepada Liverpool tentu tidak ada apanya dengan
cinta seorang fans. Karena fans sejatinya adalah orang-orang miskin papa yang
tersesat dalam dunia simulakra. Dunia tanpa asal usul karena realitas asli
yang mereka miliki sudah lenyap. Meminjam istilah Jean Baudrillard, fans ini
terjebak dalam realitas semu (hiperrealitas) yang direproduksi terus menerus dalam
bentuk klub kesayangan cinta matinya, bahkan ada yang sampai meyakini klub
kesayangannya setara dengan agama agama langit. Aku tidak sedang bercanda.
Lebih mengerikan mana: mengenakan kalung salib bling bling di lorong gang
Petamburan markas FPI atau memakai atribut The Jack di tribun Viking saat Maung
Bandung sedang bertanding? Para Fans ini lebih menyedihkan karena kehilangan
akal sehat bahwa sejatinya klub sepakbola ,seperti halnya agama hanyalah tanda
yang bukan representasi diri mereka sebenarnya, ekstasi yang seringkali menjauhkan
realitas hubungan antara manusia dan manusia lainnya, belum lagi hubungan
dengan lingkungan.
Sama menyedihkan
juga seperti kisah dua orang tuna-asmara akut pemuja idol grup JKT48 dalam cerpen Waiting For Idol buatan
Sleezevil (nama samaran, nama aslinya Angga Rossi) di HelloVanka 10 Literary
Zine[1].
Waiting for Idol merupakan cerita
adaptasi dari drama panggung Waiting
For Godot karya Samuel Beckett tahun 1953. Menceritakan tokoh yang sama,
Vladimir digambarkan sebagai pemuja Veranda JKT48 dan Estragon si pemuja Lidya
JKT48 terus menerus berendam dalam debat tidak berfaedah bahkan tidak sadar
mereka sudah menenggelamkan diri dua tahun dalam kubangan hiperrealitas.
Berdebat tanpa efek nyata hanya akan memberi kehampaan sama selepas masturbasi,
sama hampanya ketika kita sudah mendapatkan semua koleksi stiker personel JKT48
dari bungkus Pocky.
Setelah itu
apa lagi? Para Fans ini akan selalu menjadi objek reproduksi industri untuk mengeruk
keuntungan sebanyak mungkin, sehingga mereka asik berputar-putar di
tempat. Seperti anak-anak yang sedang menunggang kuda bohongan dalam komidi
putar sementara anak anak lain yang semula menunggang kuda betulan ingin juga
mencobanya dan pada akhirnya terjebak juga. Asik berputar-putar di tempat, begitu
bersemangat, tersenyum, tertawa bersama, terlihat manis cinta tulus mereka
seperti para Fans yang tidak berharap mendapatkan apapun, kecuali ekstasi.
Apa kamu melihatnya juga? Iya, kamu. Tidak ingat? Coba buka facebook
messengermu setahun yang lalu, mungkin sudah kamu kubur dalam dalam, tapi di
atas batu nisannya aku kemudian menulis kalimat yang sama dengan yang tertulis di
atas nisan kuburan Karl Marx : “The philosophers have only interpreted the world, in various
ways. The point, however, is to change
it.” Semoga kamu mengerti
pesanku ,mungkin aku salah satu dari anak-anak itu, mungkin juga kamu. Dan demi
trisula Dewa Neptunus di dasar lautan, aku ingin secepatnya keluar dari komidi
putar itu.
...
Untuk merasakan
komidi putar lain yang jauh lebih menyenangkan. Tentunya. :p
Padalarang,
2016/01/20
untuk Padalarang, 2015/01/20
untuk Padalarang, 2015/01/20
Komentar