Sisa-sisa Dokar Jangli-Kesatrian
Dua dari lima dokar yang tersisa |
Pagi ini deretan kendaraan bermotor merayap pelan sekali di kawasan jatingaleh, di persimpangan pintu keluar tol dengan pasar Jatingaleh, memanjang beberapa ratus meter ke utara hingga pertigaan jalan kesatrian.“Pengen merasakan macet? Nggak usah jauh-jauh ke Jakarta, cukup ke Jatingaleh”,kata dosenku di media sosial beberapa waktu lalu. Kali ini aku merasakan kemacetan itu. Bukan! Lebih tepat disebut : menjadi kemacetan itu sendiri. Walaupun jadi bagian kemacetan toh aku tidak boros ruang jalan karena masih mau berbagi ruang dengan penumpang lain di mikrolet dibanding satu atau dua orang di dalam mobil pribadi yang tiap hari makin banyak.
Turun di halte Kesatrian, aku
melanjutkan jalan, menaiki jembatan penyeberangan ke seberang jalan Kesatrian
menuju timur. Di atas jembatan penyebarangan aku melihat sepenggal kota ini
semakin sibuk saja dibanding beberapa tahun lalu, saat masih SMA (2003-2006). Mengingatkanku
pada sajak yang ditulis Wiji Thukul :
Bahasa sibuk adalah bahasa kota
Yang tak bisa diajak bicara
Bahasa sibuk adalah bahasa untung rugi
Bahasa sibuk adalah bahasa kita
Bahasa cinta sudah kita jual
Hidup jadi toko serba otomatis
Sulit terharu, lupa meditasi
Satu dokar akhirnya datang dengan
membawa satu penumpang, seperti biasanya, pasti sering sepi penumpang kalau
dari arah Jangli menuju Kesatrian, tapi tidak sebaliknya. Saya naik ke dokar
kemudian menunggu.
“Rodo suwe rak popo mas?” (agak lama tidak apa-apa, mas?)
“Mboten nopo nopo pak, kulo nyantai mawon” (tidak masalah, aku santai saja)
Lalu saya mengajak ngobrol kusir dokar
itu. Namanya Mustakim. Ketika saya bertanya sejak kapan mulai bekerja jadi
kusir dokar, ia menjawab sebelum jalan
tol Semarang seksi A (Srondol-Jatingaleh) dibangun. Padahal Jalan tol pertama
di Semarang itu baru dioperasikan tahun 1983. 31 tahun yang lalu. “Mbiyen
numpak dokar mbayare 35 rupiah, mas. Dokar-dokar parkire nganti ngarep pasar
Jatingaleh”(dulu tarif dokar masih 35 rupiah. Dokar-dokar ini masih parkir sampai di depan pasar Jatingaleh), Pak Mustakim menambahkan. Bisa dibilang, saat
ini rute Jangli-Kesatrian adalah satu-satunya daerah di Kota Semarang yang
masih aktif dilayani angkutan dokar. Setelah sebelumnya daerah Mangkang dan
Mranggen sudah berganti dengan ojek dan mikrolet.
Sekarang jumlah dokar-dokar yang melayani rute Jangli-Kesatrian tersisa 5 unit, padahal di awal tahun 2011, Bambang Iss di Harian Suara Merdeka
melaporkan masih tersisa 10 unit dokar yang melayani rute sepanjang 1,2km
tersebut. Penurunan jumlah dokar ini salah satunya diakibatkan penurunan jumlah
pengguna,hal itu diakui juga oleh Pak Mustakim.
“Saiki penumpange sepi,
ora koyo mbiyen, mas. Rata-rata ora sabar ngenteni, nek ora, biasane wegah
mbayar luwih”. (Sekarang sepi penumpang, tidak seperti dulu, mas. Rata-rata mereka tidak sabar menunggu, atau tidak mau membayar lebih.)
Siapa yang punya kesabaran lebih menunggu semua tempat duduk
di dalam dokar terisi penuh? Terlebih pada jam-jam sepi penumpang (jam-jam ramai
penumpang biasanya saat pulang sekolah atau pulang kantor). Siapa juga yang mau
membayar 15ribu untuk sekali jalan? Artinya membayar untuk 6 tempat duduk
penumpang yang tersedia di dokar. Lebih baik turun dari dokar dan beralih ke
tukang ojek yang tarifnya bisa dua per tiga lebih murah juga lebih cepat. Peristiwa
ini terjadi beberapa saat kemudian. Seorang ibu dan anaknya kehilangan
kesabaran menunggu tempat duduk di dokat terisi penuh. Ia turun dari dokar lalu
memanggil tukang ojek.
Seorang Ibu dan anaknya turun dari dokar lalu memanggil tukang ojek |
Apa kebiasaan dokar-dokar ini ngetem yang membuat penggunanya
berkurang? Bisa jadi. Saat jam-jam sepi kalau menunggu semua tempat duduk
terisi penuh hingga 15menit lebih siapa juga yang tahan? Walaupun umumnya penumpang
dari Kesatrian menuju Jangli tidak ada beban diburu waktu untuk secepatnya
sampai di rumah, tapi menunggu dokar ngetem memang bukan hal yang baik.
Lalu, bagaimana pula kusir-kusir dokar ini bisa memberi makan
kuda dan mencukupi kebutuhan hidupnya misalnya jika sekali jalan hanya mendapat
2500 rupiah dari mengangkut 1 orang penumpang saja? Belum lagi biaya perawatan
dokar dan perbaikan jika dokar rusak. Dari laporan Bambang Iss juga disebutkan
perlu biaya 300ribu untuk memperbaiki roda dokar yg rusak, itupun tidak bisa
diperbaiki sendiri dan harus dibawa ke bengkel di daerah Ambarawa, sekitar 30
km dari Jangli.
Beruntung pada akhir pekan, 5 unit dokar ini biasanya hijrah
agak jauh, menanjak naik melalui bukit Gombel ke daerah Banyumanik. Di daerah
itu dokar-dokar ini beroperasi menjadi angkutan wisata. Pada akhir pekan juga
dokar-dokar itu sering mendapat order untuk mengantar pengunjung Water Blaster,
sebuah taman wisata air di perumahan elit Jangli Golf yang lokasinya lebih
dekat. Pak Mustakim menceritakan ia biasa mendapat 30ribu hingga 50ribu untuk
sekali jalan.
Tapi apakah masa depan dokar-dokar ini hanya berhenti jadi
angkutan wisata? Padahal menurutku, dokar adalah salah satu angkutan jarak
dekat yang ramah lingkungan. Memang kalah cepat dibandikan ojek atau mikrolet ,
tapi dokar tidak mengeluarkan asap. Hemat energi karena tidak menggunakan bahan
bakar fosil. Justru akibat ketergantungan pada pakan kuda berupa rumput,
lingkungan yang hijau akan tetap terpelihara karena rumput harus tersedia.
Sudah hampir 20 menit saya menunggu semua tempat duduk di
dokar ini terisi penuh. Ibu dan anaknya tadi sudah turun dan beralih ke ojek. Apa
saya juga akan turun juga? “Sampun Pak, mlampah mawon, mangke kulo bayar
sedanten”(sudah pak, jalan saja, nanti saya bayar semua), saya katakan itu kepada Pak Mustakim, sebagai balas jasa saja karena
sudah bersedia mengobrol ngalor-ngidul cukup lama.
Tuk tik tak tik tuk tik tak tik tuk…. Dokar berjalan tenang.
Saya teringat satu analogi yang ditulis oleh Romo Mangun tentang buku bagaikan dokar,
begini :
“ Buku bagaikan andhong
atau dokar yang ditarik kuda dengan lonceng kecil berdenting merdu bagi orang
yang sedang bernostalgia ke tempo dulu van voor de oorlog (sebelum perang),
ketika nasi gudek seperseratus rupiah sudah berlauk seiris telur rebus, ketika
harga sepeda rakyat hanya 25 rupiah ; dan negeri serba tenteram dan damai,
maling pasti tertangkap dan barang curian pasti ditemukan polisi dan
dikembalikan tanpa tebusan satu sen pun kepada pemilik, elok dan antik, akan
tetapi kini dokar mustahil dipakai sebagai kendaraan antarkota”.
- Semarang, 24 April 2014
Komentar