Dasar Kambing!
“Mas, iki
semacam roadshow keliling opo piye?” Saya bertanya kepada Mas Bagus yang saat
itu menemani Mas Adin menjadi pembicara dalam diskusi dan screening film : “Bok
Cinta Bustaman :Ikhtiar dan Aktivasi Ruang Khalayak”, yang berlangsung 25 Juni 2015 lalu di Warung
Imajinasi, Bandung.
“Yo, memang
semacam itu. Karena selama ini tidak ada yang membaca Semarang,” jawabnya.
Sekilas ada
hasrat eksistensial yang hendak dicapai, tapi lebih dari itu, apapun motifnya,
kegiatan atas inisiasi Hysteria – satu kelompok seniman muda di Semarang yang
dimotori oleh Mas Adin , ini perlu mendapat apresiasi karena telah menjadi
pemantik warga kampung Bustaman - salah satu kampung kota di Semarang yang
terkenal dengan gulai kambingnya ini untuk melihat, bersentuhan, mengalami,
bahkan menggarap kesenian mereka sendiri, di kampung kota tempat tinggalnya.
Kota yang sering diresahkan oleh seniman dan pegiat seninya sebagai kota kering
kesenian. Beberapa teman seniman Semarang sering membandingkan sepinya aktivitas
kesenian di Semarang dengan kota-kota besar lain di Jawa bagian tengah : Jogja
dan Solo. Bahkan ada guyonan di antara para pegiat seni seandainya Semarang
dihilangkan dari peta, tak akan ada pengaruh yang signifikan dalam kontribusi
wacana seni nasional, apalagi internasional[1].
Persetan kota ini mau jadi apa, mungkin
kalau tenggelam lebih baik.[2]
Jika kita
simak jauh ke belakang, keresahan serupa
juga sudah muncul dalam salah satu versi cerita asal usul Gambang Semarang. Sekitar
tahun 1930, seorang anggota Dewan Rakyat (volksraad)
Semarang bernama Lie Hoo Soen dalam dewan membicarakan tentang kebutuhan Kota
Semarang yang kering akan kesenian. Sebagai penggemar
musik keroncong dan pengurus organisasi kesenian Krido
Hartojo, Lie Hoo Soen mempunyai gagasan untuk menciptakan kesenian khas
Semarang. Gagasan ini disampaikan kepada walikota Semarang saat itu, Boissevain. Walikota menyetujui
usulan Lie Hoo Soen, dan memerintahkannya untuk membeli alat-alat musik Gambang
Kromong di Jakarta. Setelah alat-alat musik tersedia, latihan-latihan
segera diadakan dan kelompok kesenian yang kemudian terkenal
sebagai Gambang Semarang mulai dipentaskan pada tahun 1932[3].
Kesenian ini dalam perjalanannya sempat
terbang dan tenggelam, tapi begitu melekat. Kita bisa merasakan kekaguman akan
Gambang Semarang dalam lagu Empat Penari yang legendaris karya Oei Yok Siang
dan Sidik Pramono. Paling tidak di Stasiun Tawang lagu ini masih selalu
terdengar menyambut seperti kekasih yang rindu menanti kita tiba:
Empat penari, kian kemari
Jalan berlenggang, aduh...
Sungguh jenaka, menurut suara
Irama gambang
Sambil menyanyi, jongkok berdiri
Kaki melintang, aduh...
Langkah gayanya, menurut suara
Gambang Semarang
....
Dari masa ke
masa kita masih menyaksikan keresahan akan kesenian yg kering di Kota Semarang
sebagai keresahan milik seniman dan pegiat seni, bukan milik warga kota pada
umumnya. Saya tidak bisa menganggap kota ini sebagai sekumpulan ‘babi’ yang
tidak mengerti seni-tidak pernah mengalami saat yang estetis , seperti yang
pernah digambarkan Driyarkara:
“Manusia
yang karena sengsaranya selalu mencari penghidupan, mungkin tidak mempunyai
kesempatan merasakan saat estetis itu.
Manusia yang hidup sebagai babi (maaf) mungkin akan tumpul sama sekali terhadap
saat estetis.” [4]
Warga kota Semarang , khususnya pada kasus warga Kampung Bustaman, kampung leluhur Raden Saleh Syarif Bustaman ini toh ternyata memiliki pengalaman estetis-pengalaman kesenian mereka yang khas, banal (tentu saja), yang muncul dengan caranya sendiri. Berbagai kegiatan : Karnaval Koplo, Kuliner Petengan, Lomba Foto berhadiah kambing, Gebyuran Bustaman dan Arak-arakan dengan iringan marawis yang muncul atas inisiatif warga kampung Bustaman ketika merespon rangkaian kegiatan pameran Bok Cinta Bustaman menunjukkan bahwa ada kesenian yang lain, mungkin lebih asik disebut ‘kesenian kemarin’ diantara kesenian arus besar yang selama ini ada dalam ritus-ritus pameran dan berbagai arena sosialita konsumen kesenian.
Kesenian
khas kampung ini kerap tidak dianggap, tidak tergarap ,tidak diperkaya dan akhirnya
hidup berjalan sendiri mengikuti perkembangan medium yang paling dekat dengan keseharian
warga kampung, entah itu berdampak baik atau buruk. Tayangan televisi misalnya,
telah mempengaruhi pengalaman estetis warga kampung hingga ke dunia anak-anak.
Annisa Rizkiana yang ikut terlibat bersama anak-anak kampung Bustaman
menuturkan bahwa kenyataan telah membuat anak-anak terlalu awal untuk tahu
terlalu banyak, absennya perhatian dari orang tua diisi oleh televisi, tarian
masa kecil menjadi membosankan sebab goyang dumang lebih disukai orang dewasa,
dan ketika anak-anak menyukainya juga mereka memperoleh tempat dan merasa
diterima sebab orang dewasa menganggap itu lucu.[5]
Pengalaman
estetis warga kampung Bustaman yang khas juga ada pada cerita Mas Adin tentang
Arief Hadinata dengan muralnya yang berjudul Simulasi Konsensus Sosiologis I, yang
bereksperimen mengajak warga kampung
Bustaman untuk membayangkan masa depan kampungnya. Seandainya warga diberi
tanah lapang dan diberi kesempatan untuk membangun kira-kira objek apa yang
akan dipilih.[6] Gambaran
tentang ruang terbuka hijau ternyata menjadi konsensus impian sebagian besar warga
kampung. Deretan warung-warung yang tertata rapi dan sebuah taman dengan
pepohonan hijau dilengkapi dengan patung
kambing di pusat taman utopia itu. Patung kambing ,bukan sosok Raden Saleh! Alih-alih membayangkan Raden Saleh yang punya
nama besar dalam dunia seni rupa itu, warga kampung Bustaman lebih memilih
sosok kambing yang lebih berkesan karena dekat dengan hidup keseharian. Seperti
pandangan John Dewey yang melihat
keterkaitan seni dengan pengalaman sehari-hari. Baginya Seni berakar
pada pengalaman dramatis keseharian yang intens dan koheren.[7]
“Tidak penting siapa sih Raden Saleh itu, lha wong selama ini kami hidup dari
kambing”, saya pasti akan senyum senyum sendiri kalau menjumpai tanggapan
semacam ini dari warga kampung Bustaman.
Ketika
pengalaman estetis yang diobjektivisasikan[8]
sudah menjadi begitu seragam mengikuti tren yang selalu berkembang dalam arus
komersial, apa yang terjadi di dalam mural eksperimental Arief Hadinata bersama warga Kampung Bustaman
tersebut menjadi antitesis dari nama besar Raden Saleh yang semula diharapkan
muncul oleh teman-teman seniman yang ikut dalam kegiatan sekuel Tengok Bustaman
ini. Ketika label sebagai kampung asal muasal seorang seniman besar diharapkan
mendongkrak nilai jual kegiatan ternyata kalah dengan kambing, lantas kita mau
apa? Jangan-jangan kita memang sedang hidup dalam tragedi kesenian, l’art pour art, seni untuk seni, yang
tidak mampu menjangkau ke dalam pengalaman estetis warga kampung kota dan sibuk
dengan segmen masyarakat elit, peduli apa dengan babi. Eh, atau justru kita
yang babi!
Omong-omong, kalau babi dan kambing diadu, diadu memasak gulai Bustaman dengan bahan kaum masing-masing misalnya, siapa yang akan menang?
.....
Omong-omong, kalau babi dan kambing diadu, diadu memasak gulai Bustaman dengan bahan kaum masing-masing misalnya, siapa yang akan menang?
.....
“Go to the people. Live with them. Learn from
them. Love them. Start
with what they know. Build with what they have. But with the best
leaders, when the work is done, the task accomplished, the people will
say 'We have done this ourselves.” – Lao Tzu
with what they know. Build with what they have. But with the best
leaders, when the work is done, the task accomplished, the people will
say 'We have done this ourselves.” – Lao Tzu
Ada rasa haru muncul saat saya mendengar Mas Adin bercerita tentang warga Kampung Bustaman yang sepakat membongkar beberapa bok[9] di jalan-jalan kampungnya dengan dalih demi kelancaran lalu lintas kampung saat menyambut kegiatan ‘Bok Cinta Bustaman’. Ketika warga kampung yang biasanya berjualan di lorong-lorong gang sempit mau membongkar lapak-lapaknya, menata diri, sebagian pedagang yang berjualan di depan Mushola Al Barokah lalu berpindah di sekitar eks rumah pemotongan hewan. Pun ketika secara mandiri, warga kampung membersihkan lorong gang menuju jalan Petudungan yang sehari-hari sumpek dengan gerobak PKL dan seperangkat meja serta bangkunya ,menjadi area parkir bersama, lalu mengatapi sekitar 10 meter lorong gang itu dengan kanopi agar menjadi teduh.
“Begitu saja
terharu? Ah, kamu lebay”
“Biarin,
lebay gue gue sendiri.”
Rasa haru
saya rasa tidak berlebihan, apalagi mendengar bahwa penataan diri terhadap
kampungnya itu tidak mengharapkan dana bantuan dari kegiatan Bok Cinta
Bustaman, murni inisiatif warga sendiri.
Dalam pandangan saya, ketika warga benar-benar sadar sebuah
kegiatan akan baik untuk kampung tempat tinggalnya, usaha-usaha penataan yang
lazimnya memunculkan ketegangan akan lebih kendur dan gampang diselesaikan. Sekilas
mengingatkan saya pada peristiwa pemindahan PKL-PKL di Solo semasa Jokowi masih
jadi walikotanya, tapi di Kampung Bustaman jelas berbeda. Ada
keinginan-keinginan komunitas yang seolah-olah mendapat celah terbuka untuk
mendapatkannya, seperti yang tergambar dalam mural simulai konsensus sosiologis
Arif Hadinata itu. Antusiasme datang
dari warga sendiri, layaknya seorang gadis kasmaran yang sibuk mempercantik
diri ketika tahu kekasihnya akan datang. Sebagai kampung di tengah kota, warga
sadar dengan kegiatan itu akan mengundang banyak tamu. ”Warga merasa malu
dengan kondisi kampung yang sekarang,”cerita Mas Adin. Frans Ari Prasetyo
menanggapi cerita Mas Adin dengan melihat
hal itu sebagai konsekuensi wajar: “Mau tidak mau, dari kegiatan ini, warga
kampung Bustaman menjadi ruang khalayak
bagi ruang khalayak yang lebih besar lagi,yaitu Kota Semarang itu
sendiri.”
Kesadaran ini ditangkap warga sebagai sebuah kesempatan. Sabtu-minggu 7-8 Februari 2015 warga kampung membuat Festival Kuliner Petengan yang terbuka untuk umum. Pengunjung diajak sejenak bernostalgia, dari gegap gempita gemerlap lampu kota menuju saat di mana malam hanya diterangi sederhananya cahaya-cahaya sentir (lampu minyak). Seluruh kampung Bustaman tidak menggunakan penerangan listrik dalam festival ini. Dalam suasana yang berbeda, “romantis”,kata Hari Bustaman, tokoh kampung ini melanjutkan, pengunjung bisa menikmati berbagai macam jajanan pasar, dan makanan-makanan khas kampung Bustaman ,seperti gulai kambing, sate,bistik kambing, dsb yang sehari-hari biasa dijual. Aris Zarkasyi, ketua RT4 RW3 mengatakan ide itu murni dari warga. Ia menambahkan,“Bagi warga yang penting meriah, soal budaya asli atau tidak asli itu nanti, guyubnya itu yang terpenting,”.[10]
Frans Ari
Prasetyo melihat festival kuliner petengan ini merupakan contoh praktik
sosial-spasial yang diupayakan sebagai sebuah kemungkinan ‘pengalihan’ ruang
sebagai praktik yang situasionis.[11]
Ruang-ruang khalayak berupa lorong-lorong gang sempit yang sehari-harinya
dipakai warga kampung untuk berjualan mendapat produksi, pengembangan, dan apropriasi(peniruan
dengan penyesuaian) ulang melalui konsep pengalaman petengan. Pedagang
sebenarnya melakukan kegiatan yang biasa,berjualan seperti biasanya,di ruang
yang sama, tetapi dengan konsep berbeda. Menariknya, lewat
produksi,pengembangan, dan apropriasi ulang ruang khalayaknya itu, warga
memperkuat sendiri pengalaman kolektifnya dengan cara mereka-reka secara
historis asal usul beberapa kegiatan, seperti yang diungkapkan Aris Zarkasyi
sebelumnya, ketika warga mulai mempertanyakan asli atau tidaknya budaya
kegiatan yang dibuat oleh mereka sendiri.
Hal serupa terjadi
pada kegiatan Gebyuran Bustaman seperti
yang diceritakan Mas Adin. Kegiatan ‘perang air’ menjelang dimulainya bulan
Ramadan ini, sependek pengetahuannya baru dimulai tiga tahun belakang, setelah
acara Tengok Bustaman tahun 2013. Berbeda dengan Hari Bustaman, sesepuh kampung
Bustaman ini, mengatakan bahwa tradisi ini sudah dilakukan warga puluhan tahun
silam, ketika Kyai Bustaman biasa mengguyur cucu-cucunya dengan air menjelang
bulan Ramadan, tetapi diakui oleh beliau memang kegiatan ini mulai dilakukan
lagi tahun lalu. Tradisi mengguyur atau membersihan diri dengan air menjelang
bulan suci umat muslim tersebut memang umum dijumpai di beberapa daerah, di
daerah Jawa Tengah biasa disebut padhusan, namun mas Adin juga menuturkan lagi
bahwa ada kemiripan Gebyuran Bustaman dengan festival Songkran di Thailand
dimana warga melumuri dirinya terlebih dahulu dengan bedak sebelum memulai kegiatan
perang air tersebut. “Kita tidak tahu menahu sejarah tradisi itu benar atau
tidak”, sekarang ganti Mas Adin yang mempertanyakannya.
....
Di Kampung
Cidadap, dekat Gunung Hawu dan Gunung Pabeasan Padalarang tinggal suku pribumi yang
bernama Suku Badot. Anak-anak suku itu sering bermain-main di bukit-bukit kapur
kuno di Padalarang itu; berlarian, bermain layangan di dekat alat-alat berat yang
setiap hari mengeruk bukit-bukit berharga tersebut untuk dijadikan bahan-bahan
bangunan. Bermain dekat dengan alat berat dan truk-truk besar yang selalu sibuk
memang berbahaya, tapi mau bagaimana
lagi, daerah ini dulu memang tempat bermainnya, suku Badot tergusur makin ke
pinggir jauh dari akar tempat tinggalnya.
Suatu
ketika, anak-anak suku itu dimarahi penambang karena mengganggu kerja mereka.
“Heh,
minggir! Siapa kalian? Ngapain main-main di sini?”
“Kami Suku
Badot, ini kan tempat tinggal kami.” Anak-anak Badot itu protes.
Merasa aneh
karena belum pernah mendengar nama suku itu, penambang bertanya : ”Suku Badot?
Suku Badot itu apa?”
“Tidak tahu.
Kami suku Badot luar, coba tanya sana sama Suku Badot Dalam.” Anak-anak itu lalu
berlari pergi. Meninggalkan cerita penasaran.
Gustav,
teman saya yang penasaran juga dengan cerita suku Badot itu lalu googling,
apasih suku Badot itu? Sial! Kita ditipu! Dasar Badot, eh bandot!!!
[1] Adin,
‘Bok Cinta-Upaya Aktivasi Ruang Khalayak’, dalam Bok Cinta Project-Tengok Bustaman II,(2015),hlm.54.
[2] Tugu-Bustaman:Dari Kampung Membangun Budaya
Berkota, (2013),hlm.208.
[3] Liem
Thian Joe, Riwajat Semarang (Dari Djamannja Sam Poo Sampe
Terhapoesnja Kongkoan), (Semarang, 1933). Lihat juga Yulianti,Dewi,
Penataan Kesenian Gambang Semarang
sebagai Identitas Budaya Semarang, dalam https://kjundip.wordpress.com/2012/06/14/kesenian-gambang-semarang-suatu-bentuk-integrasi-budaya-jawa-dan-china/
[4]
Driyarkara,N, ‘Kesenian dan Religi I , dalam Majalah BASIS Tahun X/Desember 1960, hlm.68. Lihat juga pendapat Hegel dalam Lectures on Aesthetic – Symbolic Art (1826):
”The sentiment of art like the religious
sentiment, like scientific curiosity, is born of wonder; the man who wonders at
nothing lives in a state of imbecility and stupidity.”
[5]
Rizkiana,A, ‘Memunculkan Harapan Lewat Seni’, dalam Bok Cinta Project-Tengok Bustaman II,(2015), hlm.75.
[6] Bok Cinta Project-Tengok Bustaman II,(2015),
hlm.43.
[7]
Sugiharto,B., ‘Seni dan Dunia Manusia’, dalam Untuk Apa Seni? (Bandung:Matahari, 2013), hlm.24 dan 32.
[8]Dalam
pandangan Driyarkara, kesenian atau barang seni adalah pengalaman estetis sang
seniman ketika menjelmakan ide menjadi barang nyata, yaitu barang seni itu.
[9] Dibaca
buk. Secara fisik berupa ambalan dari bata setinggi 40cm dan lebar 50cm yang
bisa dipakai untuk duduk. Di Kampung Bustaman, bok-bok ini sehari-hari
digunakan warga untuk tempat berjualan, sedangkan bok cinta sendiri adalah
sebutan untuk salah satu bok di samping rumah warga yang biasa dipakai anak
mudanya untuk berkumpul: tempat cinta bersemi.
[10] SUARA
MERDEKA , 9 Februari 2015
[11]
Prasetyo,F.A., (re)produksi Ruang
Khalayak: (box cinta) kampung Bustaman, (2015). Merupakan tulisan pengantar
diskusi dan screening film: “Bok Cinta Bustaman :Ikhtiar dan Aktivasi Ruang
Khalayak”, yang berlangsung 25 Juni
2015 di Warung Imajinasi, Bandung.
Komentar