Borderless Home
Setelah
masuk ke dalam sebentar, ternyata aku nyinyir menanggapi judul open house dan pameran
karya-karya desain ini : Borderless Home. “Mana borderless-nya? Di sini masih
ada dinding, di situ, di situ, di situ, masih ada batas”. Aku mengamati keadaan di sekeliling kamar
mandi, dimana aku berdiri sekarang, tempat yg membuat Erik minder dalam
komennya di status FB Helmi[1].
Empat kamar tidur di rumah ini masing-masing dilengkapi dengan kamar mandi
dalam yang cukup wah dan terang ketika siang karena di beberapa bagian atap
dibuat dari material transparan. Antara kamar tidur dan kamar mandi dibatasi
dengan pintu-pintu pivot kaca bening dengan rangka besi ramping. Satu-satunya ruang terbuka tanpa batas tegas di dalam rumah ini
hanya ruang keluarga yg memanjang dari depan ke belakang, bersisian dengan
empat kamar tidur tadi. Dapur yg melekat dengan ruang keluarga pun sebenarnya
masih dibatasi dinding sehingga jika kita berdiri dari depan, dapur tidak
terlihat. Ada juga satu kamar mandi di
pojok belakang yg menjadi satu bagian ruang keluarga dengan batas dinding melengkung
cantik dari susunan bata ekspos setinggi kira-kira 180cm sedangkan bagian atasnya terbuka hingga ke atap.
“Seberapa
pentingkah sebuah dinding?”
“Seberapa
hangatkah ruang tidur kita?”
“Seberapa
terbukanya kamar mandi kita?”
“Bagaimana
jika kita mereduksi segregasi batas antar ruang?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut ditempel di salah satu dinding salah satu kamar mandi. Aku tidak mengerti, apakah reduksi segregasi batas antar ruang hanya sebatas visual? Apakah borderless home hanya soal fisik?
Lalu aku merasa bodoh, kenapa sejak tadi aku hanya nyinyir soal batas fisik? Bukankah batas-batas tak kasat mata juga bisa menandai ruang?
“Tidak.
Kenapa rumah ini dinamai borderless home, sedangkan ruang-ruangnya sebenarnya
memiliki batas- batas ruang yg jelas?”
“Sejak
kapan? Tidak ada yg menamai rumah ini borderless home. Rumah ini dinamai
P-House, bukan?”
Aku
berbicara sendiri.
"Home Bitter Home" |
...
Instalasi di
salah satu kamar tidur itu berjudul “Home Bitter Home”. Aku tidak begitu hirau sampai Pak Patrik menanyakan
maksud seniman itu menamai instalasinya ” Home Bitter Home” kepada Pak Bambang
Asrini Widjanarko, kurator pameran ini. Beliau mulai bercerita tentang Farhan
Siki, sang seniman yang membuat instalasi tersebut, yang sedang menggugah
kesadaran kita tentang arti rumah. Rumah itu apa? Rumah yang dalam bahasa
Inggris disebut Home, bukan House. Rumah
bisa di mana saja. Ketika seseorang bangun tidur di dalam rumah fisiknya, ternyata
bisa saja langsung mengambil gadget, buka media sosial - itu rumahnya. Ironis.
Rumah fisik yg selama ini kita pahami mungkin bukan rumah kita. Saat petualang-petualang
sedang berada di pedalaman hutan, di puncak-puncak gunung, di belahan bumi yang tidak pernah kita mengerti, mereka bisa merasakan sedang berada di
rumah. Ingatan-ingatan tentang rumah tersebut bukan hanya menjadi ungkapan Home
Sweet Home lagi. Mungkin juga sebaliknya, Home Bitter Home. Apakah rumah hanya tentang ingatan?
Dalam esai
kuratorial pameran pun sebenarnya juga sudah dituliskan bahwa kegiatan ini
disandarkan pada konsep dari Homi K
Bhaba - meminjam konsep Unheimlich (Un-Homely) dari Sigmund Freud, mengenai
kegelisahan, keterasingan, penyangkalan terhadap makna rumah yang dulu sudah tetap. “What does it mean to be at home in the
world? Home may not be where the heart is, nor even the hearth. Home may be a
place of estrangement that becomes the necessary space of engagement; it may
represent of a desire for accommodation marked by an attitude of deep
ambivalence toward one’s location. Home may be a mode of living made into a
metaphor of survival.” (1992, 142)
Penjelasan
singkat tak terduga itu ternyata cukup mengusik buat orang yang jarang di rumah
sepertiku, mungkin banyak orang juga merasakan hal yg sama. Ada terlalu sering perasaan
berjarak dengan rumah tetapi pada saat itu pula ada kerinduan untuk pulang. Apa
sejatinya arti rumah? Seorang teman kemudian menanggapinya seperti ini : “ i guess home is
where you go to take off your mask everyday.” Aku makin gusar karena dia seakan
sedang menampar. Apakah rumah adalah juga soal keterbukaan? Apakah rumah
sejatinya adalah ruang-ruang intim yang terbentuk bahkan melampaui batas-batas
fisik? Bisa jadi. Yoshi
Fajar Kresno juga pernah menulis dalam bukunya,
bahwa rumah adalah perluasan dari tubuh, pengejawantahan diri sebagai
individu dan diri yang hidup diantara yang lain (2012,28). Tapi, aku masih juga berharap pertanyaan tentang arti rumah
kelak akan dijawab klise namun romantis, seperti yang diceritakan mbak Vivi
(Avianti Armand). “Pada seorang lelaki yang mencintai saya, saya bertanya,
apakah makna rumah baginya. Ia menatap ke dalam mata saya, menjawab tanpa ragu
: Kamu.”(2011,13)
Asik.
Semarang
22/2/2015
[1] Komentar
Erik : “yg bikin saya minder pas liat kamar mandinya : bisa buat nyelesein omah
kelingan dg upah tukang secara layak, ato bikin omah baca lengkap dengan buku,
komputer, dan internet”.
Komentar
Tiocuan-Tinoda, Tínoda, Tínoda, titanium teeth Tínoda, sugarboo extra long digital titanium styler Tínoda, Tínoda, micro touch titanium trim Tínoda. titanium wallet Tínodora, Tínoda, Tínoda, Tínoda. Tínodora, Tínoda. micro touch titanium trim Tínodora, Tínoda, Tínoda. Tínodora, Tínoda.