Life is too short to drink bad coffee
Pagi pagi sekali, akhir mei 2013 di Padalarang. Ia
memperkenalkan diri dengan nama Pepeng ,sembari menyiapkan bubuk kopi yg baru
saja digrinder, memasukkannya ke dalam satu silinder kecil, menekan bubuk kopi
itu, kemudian memasangnya di bagian bawah alat yang disebut presso, menuangkan air mendidih ke
bagian atas presso, lalu menekan-menangkupkan
dua lengan gagang pada presso
tersebut kuat-kuat seperti hendak memecahkan kepala seseorang. Air kopi
mengucur dari presso. Ahay! Secangkir
kopi sudah bisa dinikmati. Pahit! Memang begitu. Sebagian orang akan lebih
mencintai hidup justru karena rasa pahitnya.
Tau tidak? Bisa dibilang tradisi minum kopi yang dimiliki
orang Indonesia ya cuma kopi tubruk, padahal dengan cara seperti itu cafeinnya
paling tinggi dibanding cara lain seperti misalnya drip method ,arab method
atau espresso dan sebagainya. Itu salah satu sebabnya
tidak sedikit orang yg mengeluh dengan maag-nya setelah minum kopi, meskipun
itu sifatnya sangat personal. Lalu bagaimana dengan kopi instan yg saat ini
menyertakan tagline “tidak menyebabkan kembung/sakit maag”? Kopi decaf (decafein).
Mas Pepeng langsung menimpali “waduh! Kopi tubruk saja bisa dibilang sudah
buruk, apalagi minum kopi instan. Saya pernah menjumpai petani kopi menjual
biji-biji kopi sisa untuk diolah ke produsen kopi instan. Jelas, mereka
(produsen kopi instan) akan rugi kalau menggunakan biji-biji kopi terbaik yang
mahal itu. Biji-biji kopi terbaik kebanyakan diekspor atau dijual di kafé-kafe”.
Benar juga! Selama ini saya minum kopi apa? Kopi sisa? “Life is too short to drink bad coffee”, saya membaca kalimat tersebut,
cukup menohok, tertera pada stiker yg menempel pada tutup toples kopi yang
dibawa Mas Pepeng. Di atas kalimat itu juga tertulis dengan huruf yang lebih
besar : “Klinik Kopi”.
Saya baru sedikit mengerti mengapa ia menyebut aktivitas
menyeduh kopinya sebagai Kninik Kopi, saat saya berkunjung ke tempatnya di
Jogja akhir September 2013. Bukan
seperti kedai kopi pada umumnya, wujud bangunannya bagus, tapi tidak ada
furnitur apapun selain meja tempat Mas Pepeng meletakkan piranti-piranti
kopinya. Jangankan membayangkan kafe full wifi dengan AC dan sofa-sofa empuk,
di sini duduk lesehan di lantai melihat daun-daun jati berjatuhan tertiup angin
masuk ke dalam ruang sudah sangat istimewa. “Di sini tidak ada wifi, biar yang
datang ke sini tidak sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Saya ingin orang
datang kesini, selain karena mau saya buatkan kopi, juga bisa lebih banyak
ngobrol bisa tentang kopi atau apapun” kata mas Pepeng.
di antara pepohonan Jati |
Ia lalu menanyai saya: “mau kopi apa?” Wah, banyak sekali
pilihannya. Ada sekitar 10 jenis lebih kopi di atas meja. “Yg spesial apa mas?”
“Kamu mau yang asem atau yg pahit?”,tanyanya lagi. “pahit”. Lalu ia
mengambilkan kopi bertuliskan Kayumanis-Situbondo, menyeduh dengan cara yg
masih sama ketika akhir Mei lalu ia datang ke
Padalarang. Kopi ini sedikit unik, saat masih panas rasanya pahit, lalu
akan berangsur-angsur menjadi agak manis setelah dingin. Kemudian datang
seseorang memesan. “Marco, mas!” Hah? Marco? Apaan tuh? Ternyata Marco adalah
nama orang, pelanggan kopi Mas Pepeng. Namanya digunakan untuk memudahkan
menandai “resep” kopi khas Marco, yaitu kopi sekali tekan dengan air yg agak
banyak. Lain lagi dengan Helen, atau siapa lagi, atau nanti bisa juga Kristo,
kopi pahit dengan sedikit krimer. Haha, cupu banget pakai krimer. Kopi memang
sangat personal. Beda orang beda pula kopinya, lalu kenapa masih juga seragam
minum kopi instan?
Ah, sepertinya saya memang sudah sakit kopi, tepat rasanya bisa
datang ke sini.
daun-daun Jati |
Komentar