Rumah Kayu?
Rumah kayu?
Saya sendiri awalnya sulit menerima
ketika arsitek berusia 30-an tahun itu memutuskan menggunakan konstruksi kayu
untuk satu renovasi rumah yang akan saya bantu kerjakan desainnya. Yakin? 100%
yakin, saya tidak. Menggunakan konstruksi kayu untuk perumahan di kota-kota
paling tidak menghasilkan beberapa keraguan sekaligus ketakutan (terhadap
serangan rayap, kebakaran, lapuk, dsb.) yang mungkin akan terjadi ,
dibandingkan menggunakan struktur beton atau baja yang lebih popular saat ini.
Saya sendiri, di Semarang saat ini tinggal di rumah dengan konstruksi kayu yang
sudah mulai lapuk, dan kemungkinan akan saya renovasi, saya ganti dengan beton atau baja saja. Jujur,tak ada sedikitpun bayangan akan menggunakan konstruksi kayu.
Arsitek ini punya logika sendiri saat
memandang rumah kayu. Alasannya bercermin dari rumah-rumah kayu tradisional yang
masih utuh diwariskan hingga
dua-tiga generasi, berarti usia rumah kayu bisa lebih dari 50
tahun. Bandingkan dengan rumah-rumah beton yang ada saat ini, di kota-desa, di
perumahan massal! Ya, dalam konteks basa-basi perumahan massal, rumah-rumah
beton mereka jarang sekali berusia dua-tiga generasi, bahkan kurang dari 5
tahun ditinggali sudah banyak yang diubah-dibongkar karena berbagai alasan.
Relatif sulit membandingkan,memang, tapi yang ingin ditekankan sebenarnya
adalah pertanyaan tentang permanensi kayu yg sudah terlanjur dianggap bukan
material permanen. Apa betul kayu tidak permanen? Atau adakah material di dunia
ini yang permanen?
Yang jelas rumah kayu memiliki nilai keberlanjutan (ekonomis)
yang tidak dimiliki rumah-rumah beton. Ketika rumah beton dibongkar, berapa
banyak material bongkaran yang dapat dipakai kembali, atau minimal berapa
banyak material yang dapat dijual? Batu-batu beton dan besi-besi tulangan yang
sudah bengkok bisa diapakan? Sedikit. Bandingkan dengan kayu! Bahkan kayu bekas
reng atap pun bisa dimanfaatkan kembali jadi furnitur mahal. Dalam hal ini kayu
hampir senada dengan baja, hanya saja pengetahuan tukang kita pada umumnya juga
perihal harga (bekas) ,kayu lebih baik dibanding baja.
Logis? Bisa jadi, alasan ini yang mendasari kenapa rumah kayu
tradisional bisa diwariskan hingga beberapa generasi , bahkan melintasi batas
tempat, berpindah! Karena setelah dibongkar, rumah itu masih bisa dirangkai
lagi, mungkin di tempat yang baru sama sekali. Apa rumah beton bisa? Jelas
tidak.
Menariknya lagi, saat terjadi gempa di Jogja tahun 2006 lalu,
kebanyakan rumah-rumah kayu masih tetap berdiri sedangkan rumah-rumah beton
kebanyakan malah ambruk. Banyak faktor, tapi fakta (?) tersebut lagi-lagi menimbulkan
pertanyaan, mana yang lebih permanen :
rumah kayu atau rumah beton?
Beberapa alasan tersebut membuka sebelah mata saya yang
tertutup tentang kayu. Tentang berbagai kearifan, isu-isu go green yang pekak didengungkan
tanpa tahu alasan, sebab-akibat, dan sumber dibaliknya. Berabad-abad manusia
menggunakann material kayu untuk rumahnya, dan kini industri menawarkan sesuatu
yang lebih menggiurkan lalu memojokkan kayu (juga material alam lainnya). Ada
yang keliru, namun rumah kayu memang terlalu berharga untuk dibuang jauh dari
perbendaharaan arsitektur kita.
Ciledug, 21 April 2013
Komentar