Angkringan Volks* : Proses Desain

*peserta Sayembara Propan 2017 - Restoran Nusantara

“Revitalisasi Kota Tua Jakarta sering tidak memperhatikan dinamika perkembangan kota dan penduduknya. Imajinasi kota kolonial abad 17-20 awal yang steril demi pertumbuhan pariwisata seringkali tidak memperhatikan kehidupan warga marjinal yang menggantungkan hidup di wilayah yang sama. Benturan sosial tidak perlu terjadi jika kita bisa melihat potensi warga yang hidup di Kota Tua untuk berpartisipasi mendukung revitalisasi. Warga bisa mendukung pariwisata Kota Tua Jakarta dengan menyediakan amenitas berupa usaha kuliner khas mereka sendiri, tentu dengan standar higienitas dan pelayanan yang baik bagi pengunjung. Dengan demikian revitalisasi Kota Tua Jakarta mendapatkan daya hidup bukan hanya dari kucuran modal investor, tetapi juga dari kehidupan yang sudah ada ,warga kota yang tinggal di dalamnya .  Inilah ‘the living heritage’ sesungguhnya!”


Sayembara Propan tahun ini mengambil tema desain restoran nusantara di 10 lokasi wisata andalan di Indonesia. Ketika saya mendaftar sebagai peserta sayembara dan mendapat lokasi di Kota Tua / Kepulauan Seribu, yang pertama kali terpikir bukan bentuk arsitektur apa yang akan dibuat, alih-alih  gambaran penggusuran yang terjadi beberapa waktu lalu di Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Luar Batang, dsb. Seringkali imajinasi terhadap bangunan-bangunan dan lingkungan pada abad ke-17 hingga 20 awal ketika daerah ini aktif sebagai nukleus pemerintahan kolonial Belanda melihat segala bentuk ‘arsitektur acak-adut-serba kacau’ yang muncul berikutnya sebagai gangguan yang merusak imajinasi dan harus ‘dibersihkan’.

Saya sepakat dengan pendapat yang arkeologis dari teman-teman pegiat konservasi bangunan kuno: “kembalikan ke kondisi semula”, namun sebatas pada kemungkinan perbaikan bangunan yang mengacu pada desain dan bahan bangunan yang harus sama atau setidaknya mendekati spesifikasi pada waktu bangunan itu dibangun. Plesteran dinding yang terkelupas misalnya, pada beberapa kasus bangunan kuno dimana ia dibuat dari campuran pasir, kapur, dan tras, sebaiknya diperbaiki dengan bahan dan metode yang sama. Karena jika perbaikan menggunakan plesteran semen - bahan dan metode yang digunakan jamak pada saat ini - hasilnya justru merusak bangunan warisan budaya itu sendiri.  Seorang teman bahkan pernah menjelaskan dengan panjang lebar kenapa menjaga warisan budaya itu penting. Kata budaya - yang berasal dari kata budi atau akal dan daya atau usaha - adalah pengetahuan manusia, yang tanpanya, manusia akan kesulitan menjalani hidup, menjadi bodoh karena akan terjatuh berkali-kali pada lubang yang sama, sedangkan kebudayaan,  termasuk di dalamnya warisan arsitektur adalah buah dari budaya manusia. Sampai  di situ saya sepakat.
Tetapi ketika satu kebudayaan dianggap sebagai bentuk final yang pada situasi di manapun suatu masyarakat harus kembali kepada bentuk itu, eits tunggu dulu!

Untuk membaca kebudayaan suatu masyarakat, kita perlu memeriksa prasyarat-prasyarat yang membuat kebudayaan itu terbentuk. Bangunan-bangunan Indische di Kota Tua Jakarta misalnya, kenapa memiliki bentuk seperti itu? Tukang-tukang pembangun dari Eropa begitu sampai di daratan Jawa tentu tidak langsung membangun bangunan sama dengan cara membangun masyarakat di Jawa dengan segala ideologi mistikanya. Maka tidak akan kita temui bangunan kolonial awal di Jakarta dengan bentuk rumah kebaya misalnya, atau dengan dinding tipis dari kayu, dengan dominasi atap dalam proporsi bangunannya. Para pembangun dari Eropa tentu membangun dengan budaya membangunnya, hal ini bisa dilihat misalnya dari teknik masonry yang digunakan, dinding tebal untuk melindungi dari cuaca , sedikit jendela , atap yang tidak mendominasi proporsi bangunan, termasuk juga beberapa bahan bangunan industri yang didatangkan dari Eropa. Lama bermukin di iklim yang baru, pengetahuan membangun mengalami modifikasi sehingga membuat ciri bangunan yang lebih tropis dibanding versi awal. Ketika pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan politik etis pada awal abad ke-20, Henri Maclaine Pont dan beberapa rekannya membuat polemik pada dunia arsitektur Hindia Belanda yang memunculkan pendekatan pada arsitektur kolonial yang lebih ‘membumi’. Polemik ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di kalangan para arsitek koloni, tetapi dari sejarah panjang inilah arsitektur Indische mendapat ciri khasnya.
Dari gambaran tersebut bisa disimpulkan sementara apa saja prasyarat yang membentuk arsitektur Indische:
-         1. Orang-orang Eropa pendatang
-         2. Budaya menghuni
-         3. Budaya membangun
-         4. Bahan bangunan
-         5. Adaptasi terhadap iklim yang berbeda dengan iklim di Eropa
-         6. Situasi politik ekonomi Hindia Belanda pada masa itu

Pertanyaannya kemudian, apakah perkembangan situasi dan masyarakat di Kota Tua Jakarta saat ini memenuhi prasyarat-prasyarat terbentuknya arsitektur Indische yang sama? Warga yang tinggal di sana bukan orang-orang Eropa dengan postur tubuh yang tinggi besar, budaya menghuninya jelas berbeda, begitu pula budaya membangun dan bahan bangunan yang tersedia jauh berbeda, pun dengan situasi politik ekonomi yang akhir-akhir ini mengancam eksistensi mereka. Seketika membuat desain arsitektur Indische tanpa membaca hal-hal tersebut sama saja dengan membuat kebudayaan yang kosong.

Jadi, bagaimana merancang sebuah restoran di Kota Tua ini? Apakah kemudian saya langsung bertolak dari segala detail gaya arsitektur Indische dengan memodifikasi (bahasa kerennya: eksplorasi) bentuk segila-gilanya? Tidak!

Analisis Pasar
Yang paling penting menurut saya bukan tentang bagaimana desain arsitektur restoran di Kota Tua, tetapi usaha restoran seperti apa yang hendak dibuat, yang memperhatikan eksistensi warga yang tinggal di wilayah tersebut. Dari situlah kemudian saya bisa membuat arsitektur seperti apa yang sesuai. Saya memulai dengan simulasi analisis pasar terlebih dahulu.

Tingkat okupansi restoran di Kota Tua terkonsentrasi lebih banyak di sekitar Museum Fatahillah sedangkan situs-situs cagar budaya penting di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa, Museum bahari - Menara Syahbandar sangat sedikit (tercatat hanya 3 restoran - lampiran). Hal ini menjadikan daerah ini kurang menarik, kurang terawat dan semakin rusak karena aktivitas pelabuhan dan pergudangan.

Melihat fakta menarik ini, saya kemudian mengambil lokasi di daerah sekitar Menara Syahbandar yang sedikit mendapat ekspos. Daerah ini berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No.34 Tahun 2005 termasuk dalam Zona 1 dari keseluruhan 5 Zona Revitalisasi. Zona 1 di sekitar Menara Syahbandar dan Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki potensi menarik karena terdapat perkampungan-perkampungan lama yang dapat menyediakan sumber daya manusia. Eksistensi perkampungan-perkampungan ini merupakan wujud dari sejarah panjang urbanisasi di Kota Jakarta yang tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu saya memilih lokasi di salah satu kampung di dalam zona 1 untuk mempertahankan eksistensi mereka, karena jika menghilangkan mereka akan sama saja dengan menghilangkan sejarah Kota Jakarta.


 
Restoran ini mengambil lokasi di tepi Kali Ciliwung, di pintu masuk kampung Tongkol, pertemuan Jl.Krapu, Jl.Tongkol, dan Jl.Pakin. Pemilihan lokasi ini selain untuk mengambil ceruk pasar (spasial) yang belum tergarap, juga untuk mendukung potensi aktivitas wisata benteng Batavia yang sudah dikelola oleh warga Kampung Tongkol.

Lokasi ini menjadi strategis karena akan mendukung kawasan setelah pembangunan area parkir terpadu di sekitar Jl.Tongkol - Jl. Cengkeh yg direncanakan oleh PT Pembangunan Kota Tua Jakarta atau Jakarta Old Town Revitalization Corporation.


Pertanyaan berikutnya adalah menentukan jenis restoran apa yang paling memungkinkan untuk dibuat. Dari pemetaan sederhana melalui website tripadvisor dan google review, saya mendapat data bahwa restoran-restoran yang ada di kawasan Kota Tua (di dalam tembok kota Batavia) 29%nya merupakan restoran dengan menu Chinese/Asian Food, kemudian diikuti Indonesian Food dengan 24%, Cafe 17%, sedangkan jenis restoran Fastfood menempati komposisi yang paling sedikit dengan 1%. Komposisi jenis-jenis restoran ini membantu memberi gambaran ceruk pasar mana yang memungkinkan disasar dengan mempertimbangkan modal dan sumber daya manusia di kampung. Kurang tepat bila membuat restoran dengan menu Eropa atau Bar/Bistro atau fastfood di sana, modal dan sumber daya manusianya terlalu besar. Yang paling memungkinkan adalah membuat restoran dengan menu Indonesia, atau kafe kecil, atau seafood. Tetapi dengan jenis restoran ini, perlu ada pembedaan yang khas agar dapat bersaing dengan kompetitor lain di kawasan Kota Tua. Pembedaan yang khas itu saya lihat ada pada konsep angkringan.

Kenapa Angkringan?
Angkringan merupakan warung khas ‘masyarakat kecil’ yang semula muncul sebagai warung pendatang dari desa ke kota akibat urbanisasi. Beberapa versi menuturkan usaha ini muncul sekitar tahun 1950an di Yogyakarta. Namun, meski berasal dari Yogyakarta, jarang sekali dijumpai angkringan menyediakann menu Gudeg, misalnya. Menu makanan yang disajikan tidak spesifik merujuk kepada stereotipe menu makanan daerah tertentu, tetapi secara khas memberikan pilihan menu makanan rumahan beserta sayur dan aneka lauknya dalam porsi kecil untuk menekan harga. Modal awal dan operasional yang relatif mudah ini membuat angkringan kemudian menyebar ke segala kota di Indonesia, termasuk kota Jakarta yg sejak dulu menjadi tujuan pendatang mencari penghidupan.
Angkringan berasal dari kata angkring, yang artinya pikulan kecil untuk membawa dagangan, sesuai dalam salah satu versi asal usul angkringan pertama yang cara mejajakannya dengan berkeliling menggunakan pikulan tersebut. Pada perkembangannya setelah menetap di satu lokasi angkring ini diganti menjadi gerobak angkringan yang sekarang jamak ditemui. Tetapi dalam versi lain nama angkringan diartikan dari kata ‘angkring/nangkring’,  yang berarti tempat ‘nongkrong’. Jika di seluruh dunia cafe dikenal sebagai tempat nongkrong, maka angkringan boleh juga disebut ‘cafe’ dalam versi Indonesia.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta

Pemilihan konsep angkringan didasarkan tidak dari generalisasi kuliner satu etnis tertentu yang dominan di Jakarta. Anggapan umum memang melihat Jakarta adalah Betawi, namun jika diteliti lebih jauh sejarah etnis betawi adalah multikultur, yang terwadahi dalam satu ruang bernama Batavia, sehingga pemilihan konsep angkringan lebih didasarkan pada karakter menu yang ditawarkan yaitu :
-         1.  keterjangkauan harga sesuai target pasar
-         2. bahan baku lokal
-         3.  kemudahan pembuatan
-         4. variasi dam fleksibilitas menu

Rencana Operasional
Berikutnya yang menurut saya paling penting, yang dapat menjamin usaha kuliner ini berhasil adalah operasionalnya. Sebuah usaha bersama, apalagi dalam upaya untuk menjaga eksistensi sebuah kampung, kepemilikan alat produksinya (tanah, modal, tenaga kerja, dsb) harus menjadi milik komunitas tersebut. Segala keputusan menyangkut operasional adalah keputusan bersama, jikapun ada investor hanya berperan sebagai mitra.


Menu di angkringan ini diolah oleh warga kampung sendiri dengan didampingi profesional untuk mengontrol kualitas menu.

Menu Signature di angkringan ini adalah aneka menu ‘Nasi Kucing’ dan lauk-pauknya ,juga berbagai macam minuman yang selalu bervariasi setiap hari, serta jajanan khas kaki lima yang dihadirkan berkala. Sedangkan menu reguler adalah aneka menu masakan Indonesia dan masakan laut yang selalu tetap setiap hari.

Branding
....
“Shakespeare pernah bilang : Apalah arti sebuah nama?” ,kata Syahrir kepada Sukarno suatu ketika. Mendengar itu, Sukarno langsung keras bicara : ”kalau bapak ibu dulu tidak mengganti nama saya, hal yang sepele ini bisa jadi sebuah guyonan memalukan, orang-orang memangil bukan dengan sebutan Bung Karno, tetapi Bung Kusno! ( jawa: tolong bungkuskan).”
....

Apa nama buat angkringan ini?

Terinspirasi dari logo VOC (Vereenigde Oost-Indische Companie), angkringan ini saya beri nama Volks. Nama Volk(s) berasal dari bahasa Belanda (atau Jerman) , yg berati rakyat. Dalam arti yang lebih kuno lagi merujuk pada rakyat Afrika, yg merupakan kelas budak bagi orang Eropa.

Logo Volks adalah satire dari logo VOC  Logo Volks dibuat jauh lebih ramping, mengambarkan kekuatan rakyat yang lebih kecil.

Timeline Rencana



Rencana Arsitektural
Desain Bangunan sebagian mengadopsi nalar membangun arsitektur kolonial di sekitar pelabuhan Batavia abad ke17-20. Dinding tebal untuk menopang beban dan atap pelana sederhana. Bukaan Jendela kayu berganda tidak diterapkan di sini untuk memberikan view ke arah luar pada ruang restoran. Penggunaan konstruksi bambu sebagai struktur utama ditambahkan dengan  alasan biaya dan pertimbangan pengalaman membangun rumah contoh bambu warga Kampung Tongkol sebelumnya.



Sebagian besar material bangunan memanfaatkan sisa bongkaran kampung akuarium, pasar ikan dan Luar Batang. Susunan Batu, Bata, Pecahan keramik, Genteng, seng, besi, dsb  menunjukkan  bahwa remah-remah juga indah.

Apakah mungkin untuk dibangun? Sangat mungkin!

Pemilihan material sisa konstruksi pernah terjadi di Batavia pada saat pengembangan Weltevreden. Sebagian bangunan disebutkan menggunakan material bongkaran tembok kota yang dihancurkan akibat kualitas lingkungan yang menurun. Penggunaan  material sisa konstruksi dengan teknik yang sesuai dapat menghemat biaya pembangunan. Secara tampilanpun jika dikerjakan dengan baik akan menghasilkan tekstur menarik. Keragaman tekstur ini akan menjadi spot ‘instagramable’ yang akan memikat pengunjung untuk datang.Ini kan jaman media sosial sebagai penghasil kapital.

Apakah semua langkah strategis itu akan langsung menyelesaikan persoalan? Mungkin tidak.

Mungkin lebih baik menjadi sublim dalam puisi. Atau malah bertanya kepada burung-burung camar yang sudah tak pernah lagi terlihat:

Siapa yang memiliki Kota Tua Jakarta?
Kompeni yang bankrut di ujung 1799?
Koloni Eropa yang menjarah kekayaan alamm nusantara?
Atau para pedagang dari segala penjuru dunia?
Mereka yang lelah berlayar
Lalu bermukim entah naar boven atau di Weltevreden
Di luar tembok kota
Yang jadi puing karena ulahnya sendiri
Atau serdadu Jepang yang kalah perang?
Mereka yang tak bisa pulang
Kampung halamannya dihabisi sekutu
Setelah Indonesia merdeka, adakah ahli waris kota tua kembali?
Adu mulut menuntut pembagian harta dan sertifikat
Lalu
Siapa di situ hanya bisa melihat?
Di luar tembok kota
Ada rakyat
Siapa lagi? 









Panel Karya


Komentar

Postingan Populer