Kiat Sukses Hancur Lebur Untuk Membaca Kiat Sukses Hancur Lebur Agar Tidak Menjadi Lebur Hancur Sukses dan Kiat

Bapak-Ibu sekalian yang takut mati,
Kalau Bapak-Ibu sekalian sering mampir ke toko buku, deratan buku apa yang sering diletakkan di bagian paling terlihat mata kita begitu masuk toko buku? Yak, betul. Bukan buku buku berat semacam buku yang memuat kapal tanker, pesawat hercules, gedung-gedung tinggi ataupun buku yang memuat alam semesta, bukan juga buku-buku berbagai teori filsuf-filsuf yang niscaya akan menyesatkan hidup kita. Buku yang sering diletakkan di tempat paling terhormat di toko-toko buku tidak lain adalah beragam buku kiat-kiat sukses. Betul? Kalau tidak betul artinya saya yang salah. Saya perlu mengucapkan Selamat Lebaran.

Sulit menyebut Kiat Sukses Hancur Lebur ini buku jenis apa. Mungkin sejenis lele dumbo yang bisa terbang dan mendarat di depan kelas, nemplok di antara yang mulia presiden dan wakil presiden. Buku yang ngelanturnya sungguh keterlaluan. Membuat saya berpikir lagi tentang kesia-siaan membaca berbagai macam buku yang menawarkan ilmu pengetahuan. Seperti sindiran bagi pembaca yang menelan mentah-mentah apa yang ia baca tanpa perlu mengunyah atau mencari petunjuk informasi lebih lanjut. Melakukan apa yang ia baca tanpa berpikir, berjalan saja seperti primata gagal berevolusi menjadi manusia. Mengutip pendapat-pendapat orang orang penting agar dianggap penting tanpa menelusuri kenapa orang-orang itu menjadi penting dan pantas dikutip.

Membaca buku ini kita seperti berjalan di ruang yang lantainya baru dipel. Awas lantai licin! Perlu kehati-hatian untuk bisa mencapai ujung ruangan dengan selamat dunia akherat. Penuh dengan plesetan dari pengantar hingga bibliografi. Misal saja, nama filsuf-filsuf ternama semacam Martin Heidegger diplesetkan menjadi Heinrich Himmler yang mengarang Sein un Shit (1927), pendiri fenomenologi Edmund Husserl menjadi Edmund Buser, Emmanuel Levinas menjadi Emmanuel Leviathan, Gianni Vatimo menjadi Gianni Vatican, Friedrich Nietzsche berubah menjadi Friedrich Nazi. Bahkan nama-nama sastrawan kita juga tidak luput dari plesetan. Ambil contoh Pramoedyawardhani penulis novel Bukan Pasar Maling itu merujuk kepada siapa? W.S Rendra diplesetkan menjadi WC Rendra, Salah Asuhan Abdul Muis menjadi Salah Panti Asuhan dan nama pengarangnya menjadi Abdoel Moechlis, nama nama lain yang pasti tak asing lagi seperti Sitor Situgintung, Hotman Watugunung, Heru Tremor, Taufik Rendang, Ahmad Sobary, Motinggo Busyet, Dami & Toba, Danarto Jatman, Putu Sutawijaya, Arswendo Atmajaya, Abdul hadi WNI, Remisi Lado, Kuntogendeng, Sinus Suryadi, Umar kayang, bahkan Goenawan Mucikari.

Semua gado-gado referensi plesetan itu diracik sedemikian bajirut hingga akhir, di bagian daftar pustaka. Kita bisa menemui berbagai referensi menggelikan semisal :
Harmoko, 1988. Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Pikiran, Ucapan, Tindakan, Jakarta : Kementrian Omong Kosong Republik Indonesia.
atau ada lagi seperti ini:
Tuhan YME. 2004. Bagaimana Kata-kata Saya Berulangkali Disalahpahami, Bagaimana Saya Sibuk Mengklarifikasi, Dan Bagaimana Saya Akhirnya Mengikhlaskannya, Penerbit Tuhan YME.

Bagaimana? Tertarik membaca buku ini untuk kemudian bunuh diri?
Tidak ada gunanya. Itulah intinya. Tidak ada gunanya. (hlm.73)

Akhir kata,
Salam sepet, Semoga Tuhan tidak nyerimpet Bapak-Ibu sekalian.



Komentar

Unknown mengatakan…
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Postingan Populer