Plesir




18 Mei 2005, di ketinggian 2896mdpl di jalur pendakian Gunung Merbabu via Kopeng, menara pemancar radio yang masih berfungsi atau tidak itu terlihat memberi harapan bagi kami yang sedang kelaparan dan kedinginan. Kita selamat, pasti ada penjual makanan di sana. Pikirku sambil tiba-tiba membayangkan bangunan di puncak bukit itu adalah kedai KFC dengan logo Kolonel Sanders yang beberapa tahun kemudian aku kenali lebih mirip Romo Mangun; dalam imanjinasiku ia sedang tersenyum lalu sinis nyeletuk: “ dasar, kapitalis sontoloyo! Hahaha.”

Kami yang masih puluhan meter di bawah puncak bukit tiba-tiba punya energi tambahan menaiki jalan setapak cukup terjal dengan batu-batu di kanan kiri dan sesekali pasir di jalan setapak yang kami pijak menganulir langkah-langkah ke depan menjadi mundur . Sesampainya di puncak bukit, kami mendapati bangunan menara pemancar ternyata kosong terbengkalai. Tidak ada orang lain selain kami. Lapar.

Dari puncak bukit, di atap bangunan menara pemancar, kami memandangi puncak Syarif (3119mdpl) dan puncak Kenteng Songo (3142mdpl) begitu dekat tapi tidak mungkin kami capai saat itu. Perbekalan yang kami bawa pun akan terbatas bahkan untuk perjalanan turun. Yang tersisa hanya pertanyaan : bagaimana mereka membangun bangunan beton dan bata serta menara pemancar dari baja di daerah terpencil seperti ini? Apakah pekerja-pekerja itu membawa materialnya dari desa di bawah dengan berjalan kaki seperti para pendaki? Kami tidak bisa membayangkan seperti apa lelahnya berjam-jam mengangkut material-material bangunan itu hingga tempat ini. Mungkin juga material di bawa dengan helikopter karena peta yang kami dapatkan dari basecamp pendakian menunjukkan ada helipad di sekitar menara ini. Kami lalu menduga-duga dimana letak helipad sambil menunjuk beberapa titik, mungkin di dataran yang agak rata di sana, mungkin di sana, atau mungkin di sana? Tidak ada satupun di antara kami yang tahu di mana lokasi pasti helipad, juga bagaimana bangunan ini dibangun. Hanya satu hal yang kami tahu pasti: pemandangan dari atas sini benar-benar menakjubkan.

Entah sampai kapan?
...




Ke utara, menuju sebuah pusat perbelanjaan mewah di Jalan Pemuda Semarang, kami berdua yang saat itu berjalan kaki di trotoar diperlihatkan satu pemandangan yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Seorang bapak dengan gerobak siomay dihentikan dua laki-laki berbadan besar mengendarai motor trail. “Mandeg! Hoy! Mandeg rak!” (berhenti! Hoy! Berhenti tidak!) teriak salah seorang dari laki-laki berbadan besar sambil memegang gerobak menghentikan laju, sedangkan si bapak tukang siomay terlihat meringis kernyih seperti anak kecil tertangkap basah mencuri mangga di atas pohon.“ mungkin bapak tukang siomay sedang ditagih debt collector,” pikirku. Aku sendiri sering mendengar cerita debt collector berbadan kekar dan garang mencegat dan mengambil paksa motor dari orang-orang yang kredit motornya nunggak, namun baru kali ini melihat langsung. Tukang siomay menunggak kredit apa? Gerobak? Agak aneh memang.

Belum sempat aku bekomentar, pemandangan berikutnya memperlihatkan kejadian lebih utuh. Satu mobil pick-up dengan tulisan POL PP mengangkut dua becak yang ditumpuk dan satu gerobak dawet di bak belakang dengan dua orang berdiri berseragam coklat pucat, kemudian turun membuka pintu bak sekerasnya, keras sekali. Sejenis intimidasi! Sementara di belakangnya ada bapak yang bergegas merapikan wadah-wadah  plastik berisi manisan mangga dan kedondong yang masih setengah  penuh. “Gila, apa itu mau dilempar juga?” pertanyaanku respon mulai khawatir melihat tidak hanya pedagang manisan kedondong yang tak karuan diburu dan tertangkap basah satpol PP, tetapi juga hampir semua PKL yang sependek ingatanku bergantung hidup persis di sudut gang kecil di samping pusat perbelanjaan mewah tersebut.

Kami tetap berjalan melewati. Aku mengutuk diri sendiri, kenapa tidak segera mengambil foto dan mengunggah di media sosial. Juga tidak satupun yang melawan: bapak-bapak tukang siomay, tukang dawet, tukang manisan mangga dan kedondong, juga tukang becak, juga aku.

“Kenapa mereka dilarang berjualan? Memangnya tukang becak mau kerja pake apa kalau becaknya diambil? Kenapa mereka tidak diberi solusi?” serentetan pertanyaan pacarku, terlihat kesal. Kami berjalan terus, masuk ke pusat perbelanjaan mewah.

“ini ketidak-adilan ruang.”Kata-kataku tidak menjawab apa-apa.

(Semarang, 3 Januari 2017)

Komentar

Postingan Populer