Tropicality Masih Revisited





Gambar 1. Pameran Tropicality: Revisited di Deutsches Architektur Museum, Frankfurt Am Main - Jerman


“Suatu pameran merupakan sebuah ringkasan, apalagi pameran arsitektur, tidak mungkin bisa menyatakan dirinya memiliki keseluruhan cerita.” Ungkap Goenawan Mohammad, ketua komite Tamu Kehormatan Frankfurt Bookfair 2015, dalam bagian pembukaan kata pengantar katalog pameran Tropicality: Revisited, suatu pameran arsitektur yang menunjukkan informasi secara kronologis pemahaman kita tentang tropikalitas dan apa yang kita harapkan dari arsitektur tropis itu sendiri melalui studi kasus 12 karya dari 12 arsitek Indonesia terseleksi.Pameran yang baru saja dibuka 28 Agustus 2015 lalu di Deutsche Architektur Museum ,Frankfurt am Main ,Jerman akan berlangsung hingga 17 Januari 2016 mendatang.
Namun sayang sekali ringkasan tersebut bukan (setidaknya untuk pertama kali) ditujukan untuk publik di Indonesia. Maka, ketika admin Ruang 17 meminta saya menceritakan pengalaman pribadi terlibat di pameran tersebut dalam bentuk sebuah ringkasan untuk publik di Indonesia, khususnya di Kendari,  sungguh itu sebuah kehormatan.
Saya tidak akan membuat ringkasan berbentuk laiknya poin-poin catatan singkat kuliah apalagi seperti butir-butir pokok pengamalan Pancasila. Tidak. Ringkasan yang saya buat lebih berupa diskusi antara saya dan saya. Dan tentu saja ringkasan ini tidak akan bisa memiliki keseluruhan cerita tentang pameran itu. Hahaha, bingung kan? Mari, langsung saja.


Gambar 2. Suasana Pembukaan Pameran. 28 Agustus 2015

Bagaimana perasaanmu bisa mengikuti pameran di Jerman bareng arsitek-arsitek top Indonesia?
Pertanyaanmu mirip reporter tv satu itu tuh, hehe.
Wkwkwk.. ganti pertanyaan. Bagaimana awal ceritanya bisa ikut pameran ini?
Sekitar November 2014, di satu status FB Imelda Akmal ,seorang penulis terkenal arsitektur Indonesia, saya di-mention oleh kang Yusing untuk ikut mengirimkan salah satu karya kolaborasi kami di studio Akanoma, rumah kayu Ciledug, karena menurutnya rumah itu masuk kriteria karena tidak memakai AC. Ada cukup banyak waktu melengkapi beberapa persyaratan yang cukup mudah berupa foto-foto, beberapa gambar kerja, dan uraian gagasan sampai tenggat waktu pengumpulan pada  4 Januari 2015 pukul 24.00. Saya mengirimnya tepat di batas akhir pengumpulan.
Sesederhana itu?
Tentu tidak sesederhana itu. Masa cuma gara-gara bangunan tidak pakai AC terus dibilang tropis? Topik ini buat saya kemudian menjadi absurd. Dan yang cukup sulit adalah menguraikan lagi gagasan dari proyek yang sudah terbangun, terlebih mengaitkannya dengan tropikalitas. Tropikalitas sendiri itu apa?
Loh, kok tanya saya? Kalo menurut saya sih tropikalitas itu endapan tradisi yang perlu digali dengan pisau analisis dan mata batin dalam keheningan alam bahasa dedaunan yang bisa berubah jadi uang.
Hahaha. Nggak, saya nggak sedang nanyain kamu. Jadi begini, saat saya tanya kang Yusing poin-poin apa saja yang perlu saya tulis, kang Yusing meminta saya menceritakan isu-isu yang cukup kuat dari rumah kayu Ciledug: terutama tentang fleksibilitas rumah kayu dan tentang permanen dan ketidakpermanenan antara material kayu pada rumah baru dibanding beton pada rumah lama, lalu tentang memasukkan ruang terbuka ke dalam rumah, serta tentu saja ketiadaan AC di rumah itu. Tapi, menurut saya yang masih mengganjal adalah : apa korelasi antara rumah kayu dan tropikalitas?
Sampai akhirnya saya menemukan sebuah ide, terinspirasi dari ajaran (almarhum) Heinz Frick melalui cerita-cerita dosen ,kakak angkatan, dan paling banyak dari buku-buku beliau tentang hubungan  antara lingkungan,manusia, dan bangunan(LMB), terutama pada gagasan entropi dalam ilmu termodinamika sebagai pertimbangan ekologis dalam membangun.
Oya, saya pernah baca bagian itu. Saya suka dengan contoh percobaan sistem tertutup menggunakan es batu, minyak, dan garam. Itu mainan jaman SD, atau SMP sepertinya. Tapi setelah kamu ingatkan lagi saya jadi sadar kalau bumi juga seperti sistem tertutup dan entropinya cenderung meningkat seiring dengan perubahan energi yang tidak bisa kembali ke wujud semula. Saya mulai bisa menangkap yang kamu maksud, cara membangun bisa mempengaruhi perubahan iklim ya?
Yap, bangunan yang mengunakan material beton atau baja misalnya, cenderung memiliki entropi yang besar karena transformasi kedua material itu tidak bisa mengembalikan penyusun-penyusunnya ke keadaan semula dan energi yang ‘hilang’ dalam proses pembuatannya cukup besar, belum lagi polusi/jejak karbon yang ditimbulkan. Maka itu perubahan yang dialami oleh suatu bahan bangunan sebaiknya tidak boleh mendahului pembaharuan kembali, oleh alam.  Rumah kayu memiliki potensi itu.  Menggunakan kayu-kayu bekas dan dengan desain yang pas, kayu terbukti bisa tahan lama; sembari kita memperbaruinya dengan menanam kembali pohon kayu keras. Coba bandingkan dengan beton atau baja? Bagaimana kita  dan berapa lama alam memperbaruinya?
Dalam blogmu ;  http://suraoriginal.blogspot.com ,kamu menyebut gagasan mengurangi jejak karbon, kenapa sekarang berubah jadi entropi?
Pengetahuan seperti batu akik, semakin sering digosok semakin mengkilap, semakin jernih, hahaha.
Wkwkwk... Lalu apa hubungan entropi dengan arsiektur dan iklim tropis?
Mengacu hukum termodinamika kedua ,daerah tropis kan bagian paling panas di bumi, betul? Apa jadinya kalau bagian paling panas itu tambah panas? Panas itu akan mengarah ke bagian bumi yg lebih dingin, mengubahnya, dan tidak bisa kembali lagi, seperti percobaan es batu tadi. Arsitektur  di daerah tropis bisa mengambil peran untuk menambah panas atau mengurangi panas, meningkatkan entropi atau menahan agar entropinya tetap rendah dengan cara misalnya pemilihan bahan bangunan.
Jadi, arsitektur tropis harus pakai material organik?
Waduh, pertanyaan bikin galau.  Menurut saya sih yang paling penting, penggunaan material baik anorganik atau organik pun harus membuat lingkungannya mendekati ekuilibrium, mendekati entropi 0, keseimbangan ekosistem, bagaimanapun caranya. Itu baru soal material, belum desain. Kalau saya sih lebih suka memperbanyak pohon di setiap proyek.
Apa menurutmu 12 karya yang dipamerkan juga menerapkan pendekatan itu?
Kurang tau ya, hehe. Semua karya memiliki pendekatan dan konteks yang berbeda. Dari rumah kayu Ciledug desain saya dan kang Yusing (Studio Akanoma) yang kecil-murah meriah; hingga rumah beton Mas Aang (Andramatin) yang keren itu; Tamarind House yang super besar karya Gregorius Supie Yolodi dan Maria Rosantina (D’associates); Rumah Pak Apep (Achmad Tardiyana) di Bandung yang jendela anyaman bambunya menginspirasi desain pintu di rumah baca punya admin Ruang17 di Kendari; lalu Studi-o-Cahaya karya Mamo (Adi Purnomo) yang proses desainnya fenomenal itu;  Rumah Baja Wisnu karya Ahmad Djuhara yang kompak; Rumah Pak Eko Prawoto di Jogja yang  detilnya banyak sekali; LABO the mori karya Pak Deddy Wahyudi dan Bu Nelly (LABO)di perbukitan Bandung yang sejuk; Ada juga bioskop temporer Kineforum Misbar  di Monas Pertengahan Desember 2013 lalu (Csutoras&Liando); lalu Restoran Almarik dari konstruksi bambu di Gili Trawangan karya Effan Adhiwira; Hotel Ize di Seminyak-Bali Karya Antoni Liu & Ferry Ridwan (Studio Tonton); Dan yang terakhir adalah sebuah masjid di kaki gunung Merapi-Yogyakarta dari konblok lokal karya URBANE.   Karya-karya yg dipamerkan ini tidak bisa dibilang sempurna; ada yang masih tampias, beberapa ruangan masih panas, ada bagian-bagian bangunan yang sedikit rusak karena cuaca, ruang-ruang yang selalu berdebu , dan sebagainya, tapi semuanya hendak berusaha mengurangi ketergantungan pada pengkondisan udara mekanik. Mudah-mudahan, seperti harapan kurator bahwa pameran ini bisa memberi kesempatan untuk berefleksi, sebuah jeda, sebentang jarak bagi arsitek-arsitek Indonesia untuk melihat kembali tropikalitas dari awal.
Oh begitu, akhirnya saya tau kenapa pameran ini disebut Tropicality: Revisited* ; ternyata pameran kunjungan ulang ke tropikalitas, wkwkwk. Tapi, tunggu sebentar. Kenapa kita yang hidup di daerah tropis malah mengunjungi lagi tropikalitas? Apa arsitek-arsitek Indonesia memang berjarak dengan tropikalitas?
Hahaha, nggak tau ya. Mungkin karena itu pula, dalih  yang sempurna untuk mengadakan pameran ini pertama kali di luar Indonesia.
......


*bukan cuma diartikan mengunjungi lagi, tapi juga bisa diartikan tinjauan atau diskusi ulang.
 Gambar 3. Memahami entropi dengan percobaan sederhana minyak, es batu, dan garam. Pada tabung awal, entropi es dan garam masih dianggap bernilai 0 sedangkan minyak bernilai lebih tinggi (perlu diketahui sebelumnya, molekul zat padat yg lebih teratur dianggap bernilai entropi lebih kecil dibanding ketika menjadi fluida). Kemudian minyak menjadi gemuk(beku), peristiwa ini terjadi karena panas dari minyak secara spontan mengalir ke es. Es mulai sedikit mencair, entropinya naik. Lalu garam dituang ke dalam es, apa yang terjadi? Es mencair menjadi larutan garam dan gemuk menjadi minyak kembali. Lalu tabung kita panaskan, kita anggap panas ini adalah faktor eksternal di luar sistem, larutan garam tersebut menguap dan menyisakan butiran garam. Begitulah entropi, perpindahan panas mengubah keteraturan molekul zat, dan tidak bisa kembali, semua berlangsung secara spontan seperti Hukum Termodinamika II; kecuali ada faktor eksternal. Kita bisa saja jadi faktor eksternal itu.
 

Gambar 4. 8 Arsitek memberikan kuliah singkat mengenai tropikalitas di Frankfurt: Tropicality Symposium yang berlangsung di Museum Angewandte Kunst karya Richard Meyer, 28 Agustus 2015

Gambar 5. Ini nih yang bikin saya bisa ke sini. Terima kasih semuanya :)

Komentar

Postingan Populer