FRANKFURT AM MAIN

Tulisan yang akan kita baca selanjutnya sepenuhnya disadur dari salah satu esai Romo Mangun dalam buku Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa. Frankfurt-am-Main dan Frankfurter Buchmesse -nya. Saya merasa beruntung mengunjungi kota itu sebentar di akhir Agustus 2015 lalu. Anak udik yang baru pertama ke luar negeri, plonga-plongo lalu pulang dan menyadari kekagumannya bertambah. Semoga suatu saat dapat berjumpa lagi!

....




FRANKFURT AM MAIN
-Y.B Mangunwijaya

Pameran buku internasional dengan buku 300.000 buah, dan semakin tahun semaikin bertambah. Itulah tradisi kebanggaan kota titik simpul lalu lintas internasional Eropa Barat, Frankfurt Am Main. Buku ilmiah, buku seni, buku sastra, buku pop, buku komik, buku gambar, buku agama, buku resep dapur, buku anak-anak, buku antik, buku perdukunan, buku lucu, buku gila, buku porno, buku raksasa, buku saku, buku ensiklopedi, buku yang bukan buku (film dan slides), sungguh membingungkan sekaligus menggairahkan. Orang harus memilih dan kali ini prioritas perhatian lebih kami curahkan kepada buku untuk anak-anak. Percuma kita menghabiskan sekian triliyun rupiah untuk universitas dan sekolah menengah, bila kita tidak mulai sangat dini pagi pada si mungil balita. Di negeri ‘sana’ anak-anak unyil yang belum dapat berjalan lurus sudah diberi buku. Untuk disobek-sobek? Tidak bisa, karena halaman-halamannya (cukup 6-8 saja) dibuat dari karton plastik tebal alot. Diempaskan ke tanah atau dilempar-lemparkan, silakan. Saya anjurkan kepada penerbit  untuk berlomba-lomba menerbitkan buku untuk anak-anak. Mahal? Dari 150 juta orang (sebentar lagi 260 juta) pasti ada satu atau dua juta ayah-ibu yang cukup cerdas dan cukup berduit untuk menangani sendiri pendidikan dan pengajaran anak-anak mereka di luar sekolah dengan macam-macam buku yang tidak pernah dimasukkan dalam kurikulum Departemen Pendidikan & Kebudayaan, radio, atau TV. Sejahat-jahatnya atau sebodoh-bodohnya orang tua, pasti mereka tidak menginginkan anak-anak mereka menjadi jahat atau terbelakang di dunia yang semakin maju ini. Sebab, modal utama manusia modern bukan uang atau tanah sawah, tetapi informasi dan kecerdasan si anak (dilengkapi kebajikan dan iman). Buku masih akan lama sekali menjadi tambang emas.... dan mudah mudahan emas kebudayaan tinggi. Dan justru inilah soalnya, baik di ‘sana’ maupun di ‘sini’.

Sudilah jangan beranggapan bahwa menulis buku tentang komputer atau manajemen multinasional corporation lebih sulit daripada menulis dongeng untuk anak-anak masa kini. Menulis skripsi ( di Indonesia) paling gampang. Menulis esei lebih sulit. Menulis novel (yang baik) lebih sulit. Menulis cerpen lebih berat. Menulis sajak lebih tidak mudah. Menulis cerita untuk anak-anak, PALING sukar... jika cerita itu bukan sembarang cerita, tetapi yang memberi landasan di bawah sadar yang menentukan garis hidup selanjutnya bagi si anak di masa modern nuklir seperti ini adanya. Tetapi toh memberi inspirasi keteguhan jiwa manusia yang utuh, terpadu, dan harmonis selaku manusia ilmuan maupun religius, manusia terampil maupun mulia cita rasa, manusia progresif eksplorator dan pecinta petualangan terrae incognitae (negeri-negeri belum dikenal); sekaligus manusia yang berakar pada sendi-sendi tradisi yang berharga, manusia pecinta kebenaran yang tidak kenal kompromi murah, serta manusia penuh toleransi yang menghormati keyakinan orang lain yang berbeda; manusia prosa realis sekaligus peka pada lirik puisi, manajer ulung tangguh sekaligus penyayang istri dan anak-anak. Bagaimana nilai-nilai macam-macam yang satu sama lain berdialiektik itu dapat kita tanamkan dalam benak si anak kecil? Tanpa mengindoktrinasi mereka dengan dalil dalil statis kaum tua yang selalu mengira bahwa yang ‘dulu’ itu lebih bagus dari yang ‘sekarang’? Tetapi tidak cuci tangan membiarkan si anak ngawur ‘biar cari sendiri’, yang sebetulnya cuma dalih saja untuk kemalasan dan egoisme yang tidak mau bertanggung jawab? Nah, ini beberapa pekerjaan rumah untuk para penulis dan calon penulis buku anak-anak. Yang bukan sejenis spekulan honorarium atau royalties belaka. 

Menulis novel masih mudah karena boleh mengandaikan si pembaca novelnya sederajat (jenis cari jenisnya. Pembaca berjiwa pop cari novel pop, pembaca serius cari novel serius), mampu dan aktif berpartisipasi, berfiksi sendiri dan berpikir. Pembaca novel adalah kawan bagi si penulis. Tetapi bagi si anak, penulis buku anak-anak ialah dewa yang tahu segala galanya, paling tidak kakak yang memiliki mantra Alibaba yang mampu membuka dunia-dunia baru yang belum pernah dilaluinya. Kalau sang dewa keliru omong, jelas akan fatal akibatnya bagi si mungil. Begitu juga ilustrator buku anak-anak. Sulitnya, si penulis buku anak-anak harus mengejawantahkan diri menjadi anak tanpa menjadi kekanak-kanakan; diharapkan tetap dewasa dan menganggap sang anak tidak kekanak-kanakan tetapi sangat serius. Serius secara khas anak-anak.
Hak wanita untuk berkembang penuh menjadi wanita utuh dapat dikatakan sudah diakui di Indonesia, paling tidak pengakuan dan penghormatan itu sudah dalam proses berjalan. Tetapi hak anak-anak untuk menghayati ke-anak-an mereka? Dan bukan anak anak yang diberi pakaian orang tua (kain kebaya atau sarung teluk belanga pici kaum dewasa), menjadi orang-orang tua ukuran mini? Apalagi anak-anak sekarang disuruh berbaris. Mana ada anak normal yang berbaris, gaya kaum perang dan ideal Dr. Gobbels. Anak-anak adalah sang Sedang Mekar, sang Penemu Dunia-Dunia Baru, sang Terheran-heran, sang Bahagia karena Kejutan-kejutan Memukau, sang Explorer, sang Researcher yang penuh fantasi, imajinasi, puisi. Suatu bangsa yang mendidik anak-anak untuk berbaris akan memetik suatu generasi baru yang fasis, pemenggal leher kawan yang keluar sedikit dari barisan dan ... notabene orang tua mereka juga.

Yang mendatangi pameran buku internasional tidak hanya para pedagang buku dan penulis serta kontraktor penerjemahan. Juga murid-murid dan mahasiswa, bapak-bapak ibu-ibu yang berkat pendidikan sejak kecil sangat menaruh minat terhadap yang disebut buku. Menurut para pengamat, orang Amerika membaca buku karena ingin menimba informasi. Fungsional. Orang Eropa juga begitu tetapi lebih, dengan sebentuk hubungan cinta. Buku-buku di Eropa dicetak sebagai benda seni. Sebentuk pernyataan kultural ingin terhitung jenis manusia yang berkebudayaan, punya pamor dan gengsi juga. Maka sangatlah menarik bahwa dari sekian kios pameran, bagian yang paling dikunjungi dan selalu berjejalan pengunjung tua-muda ialah bagian sastra. Begitu juga koran-koran Jerman yang besar rupa-rupanya melihat pameran buku 300.000 buah itu hanya dari segi sastra. Halaman pameran buku identik dengan halaman sastra, kritik sastra, resensi sastra. Kita tidak tahu bagaimana halnya seandainya pameran buku internasional setiap tahun ini tidak diadakan di Frankfurt-am-Main, Jerman. Negeri pujangga Goethe, tetapi di New York atau Hong Kong.
Konon sang Goethe-lah yang pertama tama bercakap tentang die Schoene Literatur (sastra indah). Pendiri hadiah penghargaan sastra internasional, Nobel (jutawan pabrik dinamit), meminta agar hadiah Nobel untuk sastra diberikan kepada mereka yang berkualitas perihal idealismenya. Tetapi segera ternyata bahwa sastra yang baik justru bukan yang idealistis berkhotbah manis. Atau pelukisan manusia yang indah, yang mempradakan kehidupan yang ‘pedagogis’ optimis kencana. Sastra yang baik mirip foto Roentgen. Jelas, tidak molek. Bayangkan seorang gadis mengirimkan foto Roentgennya kepada si pacar, ha ha haaaa! Tetapi sastra memang tidak untuk pacaran di bawah bulan purnama sambil terimbau angin sepoi-sepoi yang berbisik-bisik syahdu di antara daun-daun pagar melati. Sastra ingin berdialog dengan pembaca tentang si manusia seperti apa adanya. Tanpa bintang jenderal atau make-up max factor.  The Naked Truth, kata orang sana, kebenaran yang telanjang. Namun, dalam segala ketelanjangannya manusia toh masih molek sekaligus suatu misteri, tidak terpahami keseluruhannya. Memang, film Roentgen tidak sedap dibaca, tetapi mutlak bagi dokter untuk mengobati pasien. Mana ada dokter merasa tertolong dengan foto cakap multicolour dari studio lihai. Tetapi tentulah itu ada konsekuensinya. Sastra akan dimusuhi oleh orang-orang yang hanya kelihatan gagah atau cantik bila busana dan make-up tebal, pandai menipu pandangan.  Bagi orang yang suka bohong dan membohongi, kaum gila kuasa dan koruptor, sastra yang baik benar-benar musuh, karena cirinya memang cinta kepada kebenaran. Biar yang pahit getir sekalipun. Hanya manusia yang jujur dan serius mencari yang benar suka pada sastra yang jujur. Hanya panglima perang yang sejati menghargai laporan  intel yang setia pada kewajiban, sehingga sang intel tidak gentar melaporkan situasi medan perang yang tidak menyenangkan tetapi benar. Seorang panglima yang cuma suka mendengarkan laporan yang manis manis adalah panglima brengsek, calon kroco yang keok. Sastra adalah semacam intel yang baik bagi para strateg bangsa. Adalah bodoh untuk memusuhinya. Soalnya tinggal didiklah kaum intel yang betul betul inteligen, dan jangan para informan penjual gula-gula.

Dalam pidato pembukaan Pameran Buku Frankfurt itu, seorang ahli sastra, Hans Mayer, memberi dorongan yang menghibur kita. Ia menguraikan masalah, betapa dalam zaman modern yang semakin kecil ini, batas batas antara sastra lokal dan sastra dunia semakin hilang. Biasanya, sastra lokal dianggap sastra tingkat rendah, dengan masalah-masalah lokal tetek-bengek dan falsafah-falsafah hidup kecil. Sedangkan sastra dunia mengemban problem-problem besar, planeter, dan falsafah tinggi. Mayer menceritakan keheranan pemenang hadiah Nobel untuk sastra 1909 Selma Lagerloef dari Swedia kepada pemenang hadiah Nobel untuk sastra 1929, Thomas Mann dari Jerman. Si guru desa Selma mengaku, ketika ia menulis cerita-ceritanya tentang kehidupan tetek-bengek daerah udik terpencil, ia tidak menduga bahwa novel-novelnya akan dianugerahi hadiah Nobel. Thomas Mann merasa bahagia mendengar itu, karena cerita Buddenbrooks yang ia tulis, misalnya, sebenarnya hanya untuk hiburan keluarga dan tante-tantenya, lingkaran kecil yang tertawa terbahak-bahak bila ia membacakan teksnya. Kok lalu dihadiahi ‘dinamit internasional Nobel’ ? Ternyata batas-batas antara sastra tinggi dan rendah, lokal dan internasional, hanya ada dalam angan-angan orang yang tidak tahu. Atau yang memang terlalu suka pada kemanisan foto-foto berwarna. Cerita-cerita orang-orang kecil dari Sungai Mississippi oleh William Faulker, riwayat orang-orang kampung Tortilla oleh John Steinbeck, desa udik di Columbia yang diceritakan oleh Gabriel Garcia Marquez, peristiwa-peristiwa kecil lokal Jepang yang dilukiskan oleh Kawabata Yasunari, semua itu bukan jagat gede embusan dada raksasa-raksasa yang berfalsafah adiluhung, melainkan hal-hal yang biasa-biasa saja, masalah-masalah manusia lumrah yang barangkali dinilai ‘tidak bermutu’. Namun, dalam tangan seorang penulis yang memiliki film-film Roentgen, ternyata dapat menggerakkan serangkaian laboratorium dan skripsi doktor-doktor cemerlang di seluruh dunia. Jadi, para penulis muda, baik dari udik maupun tepi Kanal Ciliwung, your chance! Hallo, Ponirah! (Jangan Ponny!). Hallo, Tukiran! (Nggak usah: Tucky).

 

Komentar

Postingan Populer