Apa Makna Tropis Bagimu?



What does the tropics of Indonesia means to you?
Apa makna tropis Indonesia bagimu? Pertanyaan ini sederhana. Tapi tidak mudah mencari jawabannya.
Dalam dunia arsitektur Indonesia kata tropis sudah sering dibahas ,mungkin sudah basi, dan terlebih  bila dicari di dalam buku-buku arsitektur (atau sumber lain) pun sudah tentu akan mendapat  definisi yang sudah pasti :  daerah di antara garis balik imajiner (disebut garis lintang 23,5 atau garis tropik Cancer/Capricorn) dimana matahari melakukan gerak semunya, meskipun pada kenyataannya akibat pengaruh kondisi geografis daratan dan lautan daerah tropis lebih banyak didefinisikan sebagai daerah di dalam lingkup isotherm 68F (20⁰C). Daerah tropis juga dikenal ada beberapa jenis, berbeda dengan daerah Arab utara atau Meksiko yang tropis kering, Indonesia sendiri dipahami sebagai daerah tropis lembab.  Negeri kita selain memiliki paparan sinar matahari yang besar sepanjang tahun juga memiliki curah hujan dan kelembaban udara yang besar, pun siklus periodik angin muson(monsoon) yang membawa pergantian musim.
Pengetahuan dasar ini  selalu menjadi pertimbangan utama dalam perancangan arsitektur di Indonesia (sejak masa kolonial?), maka muncul ekspresi bangunan bangunan dengan naungan atap miring yang lebar untuk menghalau sinar matahari yang berlebihan dan melindungi ruang dalam dari hujan, juga dengan beragam kerai, jalusi, krepyak, kisi-kisi,atau kerawang(rooster) ; dinding tebal yang secara signifikan menghambat suhu udara panas di luar bangunan masuk ke dalam, membuat ruang dalam lebih dingin  ketika siang dan memberi kehangatan saat  malam karena dinding tebal tersebut masih menyimpan cukup panas ; dan berbagai macam ventilasi, peninggian lantai dari tanah atau penggunaan teknologi lain untuk mengurangi kelembapan.
Dalam hubungan masyarakat nusantara (tradisional) dan arsitekturnya, mereka yang hidup di daerah tropis lembab ini memiliki ciri penyelesaian yang khas. Mengikuti istilah yang sering disebutkan Josef Prijotomo, arsitektur di daerah tropis lembab tersebut dipahami sebagai arsitektur naungan[1], membedakan dari arsitektur sub tropis di eropa-amerika yang ia sebut arsitektur lindungan. Masyarakat nusantara (pra-kolonial) menganggap iklim tropis lembab bukan sebagai acaman yang mematikan seperti halnya di iklim subtropis atau lainnya, hal ini terlihat dari cara berpakaian hingga berarsitektur. Masyarakat nusantara berpakaian terbuka, kebanyakan hanya dari bagian pusar hingga lutut, bertelanjang dada (dianggap kurang beradab oleh masyarakat kolonial), tetapi begitulah yang paling nyaman, penyelesaian yang paling sesuai untuk hidup di daerah tropis dan lembab. Penyelesaian terhadap iklim tersebut juga terbawa dalam arsitekturnya; ekspresi serba terbuka, dinaungi atap yang miring dan lebar , hanya tertutup di ruang-ruang penyimpanan barang atau tubuh ketika hari menjadi dingin (tubuh juga dianggap barang!). Material dan konstruksi arsitektur nusantara juga berbeda dari arsitektur eropa-amerika. Jika arsitektur eropa-amerika dari jaman Yunani hingga sekarang (sebatas grand-architecture?) lebih banyak menggunakan material anorganik :batu,beton,baja,kaca dsb. ; arsitektur nusantara lebih banyak menggunakan material organik seperti : kayu,bambu, rotan, alang-alang,dsb. Saya menduga hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan daerah tropis yang dilimpahi berbagai jenis pohon dan tumbuhan yang dapat hidup sepanjang tahun. Pemakaian material-material organik yang sifatnya ‘sementara’ ini tentu berakibat pada logika konstruksi yang digunakan. Konstruksi bangunan harus mempermudah untuk melakukan penggantian material, mudah dibongkar-dipasang kembali. Konstruksi ikat, konstruksi cathokan serta konstruksi lubang dan purus selama itu adalah konstruksi yang paling jitu. Semua dikerjakan tanpa paku, serba longgar dan tidak presisi sehingga bangunan bisa bergerak ‘hidup’ seperti yang diistilahkan oleh Josef Prijotomo sebagai ’ubah-ingsut[2] ; dan karena konstruksi yang bergerak itulah sekaligus membuat arsitektur nusantara ini fleksibel terhadap goncangan gempa bumi.
Jadi, persoalan bagaimana arsitektur tropis di Indonesia yang baik seharusnya sudah selesai. Lalu, ketika mendapat pertanyaan itu tiba-tiba saja kata tropis ini jadi absurd.  Kenapa ditanyakan lagi? Apa yang sebenarnya dicari? Jangan-jangan tropis sudah hilang atau mati, karena ada ungkapan menyebutkan : sesuatu akan sangat berarti justru setelah tidak ada lagi.
.....


Setelah menonton PK, film India (beberapa film produksi bollywood akhir-akhir ini mengangkat cerita yang menarik, seperti Slumdog Millionaire dan 3 Idiots) yang selalu musikal itu, teman saya lalu meracau bermacam-macam hal, hingga suatu ketika ia bertanya: “Apa gunanya ketakutan? Apa ketakutan digunakan untuk mengatur orang lain ya? Agama menakut-nakuti orang dengan ancaman neraka. Seperti ketika seorang ayah melarang anaknya naik ke loteng karena ada hantunya. Atau melarang mencuri dengan ketakutan hukuman potong jari”
“ya memang seperti itu, tapi harusnya tidak perlu ada ketakutan.”
“Tapi, ketakutan juga yang membuat orang-orang membuat rumah, untuk berlindung, karena takut sama hewan buas.”
“Benar juga ya, dunia kita ternyata dibangun dari ketakutan. Tapi harusnya tidak perlu ada ketakutan.”
“tapi kalau tidak ada ketakutan, orang bisa semaunya sendiri, orang-orang itu egois.”
“eh, egois itu juga bentuk ketakutan, bukan? Takut dirinya tidak dihargai,takut besok dirinya tidak bisa makan lagi.”
“hmm kenapa ya?”
Pertanyaan-pertanyaan terus menggantung. Namun, kesimpulan tiba-tiba tentang ’dunia yang dibangun dari ketakutan’ itu memberi ide : apakah arsitektur  kita juga dibangun dari ketakutan terhadap iklim tropis lembab?
Membaca uraian Josef Prijotomo sebelumnya, saya menyimpulkan masyarakat nusantara (tradisional) memiliki respon yang sewajarnya terhadap iklim tropis lembab ; dari cara berpakaian hingga berarsitektur memperlihatkan seakan tidak ada masalah berarti karena memang iklim ini tidak terlalu ‘mematikan’. Berbeda halnya dengan masyarakat kolonial di tempat baru ini, yang menganggap iklim tropis lembab sebagai sesuatu yang asing. Udara yang lebih panas, curah hujan yang besar , kelembapan, serangga ,dsb. dianggap sebagai ancaman yang harus ditaklukan dan mendapat perhatian utama dalam perancangan arsitektur. Perbedaan cara pandang ini toh masih tetap berfokus pada cara merespon iklim tropis lembab dengan bekal pengalaman historis dan perkembangan teknologi membangun masing-masing.
Saya kagum dengan cara seorang arsitek Belanda, Thomas Karsten merespon iklim tropis lembab tersebut pada rancangan Pasar Johar Semarang (1933), setelah sebelumnya melakukan eksperimen dengan Pasar jatingaleh (1930) yang lebih kecil .  Meskipun menggunakan teknologi yang benar-benar modern  dan baru pada kala itu, skala ruang,  pengaturan lubang-lubang cahaya, hingga zoning fungsi yang mempertimbangkan pergerakan udara tidak luput dari perhatiannya, seperti yang dicatat Marco Kusumawijaya: ... Di atasnya terdapat pasar daging, tidak seperti umumnya pasar sekarang yang meletakkan pasar daging di bawah dengan alasan becek. Bau daging naik bersama pergerakan udara. Dinding lantai atas ini sebagian besar terbuka, terdiri dari anyaman kawat, sehingga terjadi arus silang udara (cross ventilation) yang mengurangi bau dan mendinginkan udara di dalam...[3]
Kekaguman terhadap orang kolonial merespon iklim tropis lembab juga dirasakan oleh Romo Mangun ketika melihat tata ruang yang dirancang mereka : Baik tidaknya ventilasi dalam bangunan sangat tergantung dari pengaturan alam/halaman sekeliling. Penanaman pohon-pohon pemberi bayangan sejuk atau bidang-bidang kolam berkombinasi dengan lapangan panas, menambah perputaran arus udara dari yang sejuk ke yang panas. Demikian ventilasi horisontal ikut dikembangkan. Orang-orang kolonial dulu pandai sekali memanfaatkan prinsip tersebut dalam tata ruang mereka.[4]
Namun, perbedaan cara pandang ini pula yang membuat masyarakat nusantara sering menjadi inferior di hadapan masyarakat kolonial, terlebih ketika modernitas masuk membawa budaya termasuk didalamnya material dan teknologi membangun yang baru bagi masyarakat nusantara (tradisional). Urbanisasi (secara harfiah) pada awal abad ke-20 juga memberi pengaruh ,dimana akibat pertumbuhan dan desakan ekonomi  membuat masyarakat nusantara (terutama di kota-kota) membangun rumah dengan tunggang-langgang, mengabaikan aspek sanitasi dan kesehatan. Setelah terjadi wabah pes pada dekade 1910-1920 inferioritas ini semakin parah, ditandai dengan diterimanya wacana santitasi dan kesehatan permukiman yang baik oleh penyuluh-penyuluh publik. Sebuah buku berjudul Serat Balewarna[5] karangan Mas Sasrasudirja, yang diterbitkan oleh sebuah instansi penyuluhan publik tahun 1926, menyatakan bahwa rumah tinggal yang ada di pedesaan kurang baik karena tidak awet dan tidak sehat. Di buku tersebut diperbandingkan rumah-rumah pedesaan yang umumnya dibangun dengan pengetahuan tradisional dan material seperti kayu dan bambu, dengan rumah kota yang tidak lain adalah rumah-rumah kolonial dari dinding bata,beton, atau baja. Inilah yang kemudian mengubah cara pandang masyarakat nusantara terhadap standar hunian dan bangunan mereka (sayangnya masih berlangsung hingga saat ini).
Pada jaman kita, jaman baru, bentuk baru. Material organik yang tidak awet  dan pengetahuan tradisional yang dianggap tidak relevan sudah ditinggalkan atau dijadikan pelengkap (kadang norak), digantikan material industri dan berbagai teknologi yang semakin memudahkan.  Arus informasi yang deras dan kecondongan referensi pada arsitektur eropa-amerika-hinga jepang juga membuat arsitektur kita hanya mengekor sebatas eksplorasi bentuk tanpa lagi menganggap atau bahkan memberi perhatian pada permasalahan terhadap iklim tropis sebagai sesuatu yang krusial. Curah hujan yang besar bukan lagi masalah karena ‘hidup itu indah’, begitu kata seorang arsitek yang saya kagumi. Pun berbagai produk material tahan air dan cuaca serta cat pelapisnya sudah sangat mudah didapatkan. Kelembapan dan panas dapat diatasi dengan AC, exhaust fan, atau berbagai material insulasi, selesai. Kita sedang merayakan kemenangan atau justru kemalasan[6] atas iklim tropis lembab!
Ketakutan terhadap iklim tropis lembab sudah hilang, kita bebas mebangun arsitektur apa saja, tetapi hal itu malah membuat saya bertanya kembali : apakah penaklukan ini berlebihan? Atau jangan-jangan malah cara-cara kita  berarsitektur yang justru mengancam iklim tropis lembab?
Saya sendiri sangat khawatir terhadap pertumbuhan kota dan permukiman di Kota tempat tinggal saya, Semarang, setidaknya 20 tahun terakhir. Walaupun belum menemukan data yang akurat, secara kasat mata bisa dilihat perubahan daerah hijau menjadi permukiman begitu cepat, daerah yang dulunya sawah berubah menjadi kluster-kluster perumahan baru,atau menjadi ruko-ruko; taman di tepi jalan mengecil karena pelebaran jalan. Hal ini juga terjadi di tempat-tempat lain, sebuah penelitian terhadap ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta menggunakan  metode indeks vegetasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) menunjukkan perubahan yang sangat drastis: RTH Jakarta tahun 2007 sebesar 29% menyusut menjadi tinggal 9% pada tahun 2013[7]. Akibatnya bisa dirasakan sendiri, tiap tahun suhu rata-rata meningkat. Kota-kota seperti Bogor atau Bandung yang dulu dikenal memiliki suhu rata-rata sejuk sekitar 26-27C ,sekarang bisa mencapai 31-33C[8], sedangkan tren dunia selama 100 tahun yang dicatat oleh NASA menunjukkan terjadi peningkatan suhu sebesar 0,06C per dekade[9].
Selain terjadi di kota,  ekspansi besar-besaran juga terjadi di daerah pedalaman. Hutan-hutan tropis kita menyusut dari tahun ke tahun oleh pembukaan lahan baru, sebagian besar untuk perkebunan monokultur dan pertambangan, serta sedikit untuk permukiman. Sebuah data menunjukkan tahun 1960an luas hutan kita masih 82% dari total luas negara, lalu menyusut menjadi 68% di tahun 1982, menjadi 53% di tahun 1995, memasuki tahun 2000an menjadi 49%, dan pada tahun 2013 hanya tinggal 45%[10]. Apakah arsitektur ikut berperan dalam penyusutan hutan tersebut? Secara langsung mungkin kecil, namun secara tidak langsung saya menduga cara kita berarsitektur juga perlu dipertanyakan: apakah penggunaan material kita juga berperan? Kita perlu meninjau ulang penggunaan kayu tanpa memikirkan penanaman kembali atau pemakaian material hasil tambang seperti: semen, batu-batu, marmer, bijih besi, dsb. yang terang-terangan sudah merusak lingkungan.
Sementara ruang terbuka hijau semakin berkurang, hutan-hutan tropis kita habis akibat pembukaan lahan baru, kita bisa saja mengatasi kenaikan suhu dan perubahan iklim tersebut dengan berbagai teknologi penakluk yang paling mutakhir; butuh AC seperti apa untuk mendinginkan bumi? Ketika ketakutan terhadap iklim tropis lembab (yang sejak dulu tidak mematikan nenek moyang kita) sudah hilang, saya justru takut cara berarsitektur kitalah yang membuat iklim tropis lembab ikut hilang. Mungkin berubah menjadi super tropis! He he.
Tapi,, sebaiknya kita tetap tidak perlu takut, namun lebih banyak bersyukur.
....


[1] Prijotomo,Josef, Arsitektur Nusantara-Arsitektur Naungan,Bukan Lindungan (sebuah reorientasi pengetahuan arsitektur tradisional), dalam http://www.putumahendra.com/arsitektur-nusantara-arsitektur-naungan-bukan-lindungan-sebuah-reorientasi-pengetahuan-arsitektur-tradisional/
[2] Avianti Armand,dkk (ed), Ketukangan:Kesadaran Material (Jakarta:2015),hlm.26
[3] Kusumawijaya,Marco,Kota Rumah Kita (Jakarta:2006),hlm.237.
[4] Mangunwijaya,Y.B, Pasal-pasal Pengahntar Fisika Bangunan, (jakarta:1980)hlm.142.
[5] Avianti Armand,dkk (ed), Ketukangan:Kesadaran Material (Jakarta:2015),hlm.28.
[6] Frick,Heinz, Perkembangan Teknologi dan Transformasi Budaya dalam Striving For Excellece, (Yogyakarta:2008), hlm.62. Dalam ceramahnya, Heinz Frick menyebut perkembangan teknologi sebagai manifestasi kemalasan manusia, sehingga mendorong manusia terus berkembang. Ia mencontohkan ; andai saja manusia tidak malas menyeret barang-barang berat, sampai sekarang kita tidak mengenal roda.
[7] Febrianti,Nur,dkk, Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta Berdasarkan Analisis Spasial dan Spektral Data Landsat 8, dalam SeminarNasional Pengindraan Jauh 2014, hlm.504.
[8] Isnaeni,Nadya, Panas jakarta dan Ramalan ‘Neraka’ di Bumi, dalam http://news.liputan6.com/read/2102503/panas-jakarta-dan-ramalan-neraka-di-bumi.
[9] http://earthobservatory.nasa.gov/Features/ArcticIce/Images/arctic_temp_trends_rt.gif Ada kecenderungan yang menarik dari grafik ini, dimana peningkatan suhu rata-rata terjadi ketika ada krisis tertentu; misalnya grafik mulai meningkat pada tahun 1920-1940an ketika ada resesi perang dunia I tahun 1921 dan The Great Depression pada 1929-1939, disambung perang dunia II hingga tahun 1945. Setelah itu grafik menurun dan meningkat lagi pada tahun 1970 hingga 1980 awal ketika terjadi perang Vietnam dan naiknya harga minyak dunia. Kemudian grafik naik lagi pada tahun 1990 an ketika terjadi krisis global yang juga menimpa Indonesia saat itu.
[10] Forest Watch Indonesia, Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013, (Bogor:2014),hlm.29. Lihat juga http://world.mongabay.com/indonesian/profil.html

Komentar

Postingan Populer