1 Mei



Dalam perjalanan kereta ke Bandung setelah mengunjungi pameran instalasi bambu di Solo itu dia bercerita tentang temannya di Jakarta yg bekerja kantoran. Lebih tepat menyayangkan kenapa banyak teman-temannya memilih bekerja terikat pada bos perusahaan-perusahaan besar sedangkan dia sendiri bekerja tidak terikat pada siapapun untuk membangun usaha yg dirintisnya sejak masih mahasiswa. Aku lalu membayangkan seandainya berada di posisi teman-temannya di Jakarta itu, pasti sekarang aku sedang nonton di bioskop ,nongkrong di kafe-kafe atau karaoke atau apapun untuk merayakan kemerdekaan akhir pekan dan tidak perlu pusing berpikir saat mendengar cerita teman seperjalanku ini. Sebetulnya sangat menakutkan membayangkannya. Sama menakutkannya ketika aku tak sengaja membaca sajak Aan Mansyur berjudul Menikmati Akhir Pekan:

Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia.
Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa.
Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja.
Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati.
Mereka tidak banyak bicara, jujur dan  berbahaya.
Mereka tahu apa yang mereka cari.
Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.

Dari obrolan di kereta malam itu aku jadi berpikir : Sebenarnya untuk apa kita bekerja dan untuk siapa kita bekerja? Mari kita telisik:

Apa adalah tentang barang. Bisa juga tentang keadaan. Untuk apa kita bekerja? Apakah kita bekerja untuk mendapatkan barang atau keadaan? Misalkan pengemis di simpang jalan juga bekerja untuk mendapat uang(barang). Uang yang dipercaya merubah keadaan. Dari keadaan lapar dengan uang digunakan untuk mengubah menjadi keadaan kenyang. Dari keadaan sedih dengan uang dipercaya dapat menjadi keadaan bahagia.

Lantas, jika bekerja untuk mendapat keadaan adalah tujuan akhir, bolehlah kita sebut jawaban yg lebih tepat dari pertanyaan bekerja untuk apa adalah keadaan, tanpa perlu melalui barang, ini jelas akan jauh lebih sederhana. Ketika kita bekerja lalu mendapat keadaan yg kita inginkan, apalah arti barang yg dipercaya memberikan keadaan yg sama? Atau jangan-jangan kita memang sedang tidak tahu keadaan yg kita ingin dapatkan sehingga lebih memercayai barang sebagai tujuan akhir untuk apa kita bekerja?

Apakah bekerja selalu tentang untuk mendapatkan keadaan? Apakah bekerja juga tentang memberikan keadaan? Pengemis di simpang-simpang jalan bekerja, mereka mendapat uang, mereka mendapat keadaan yg mereka inginkan,  tapi apa yg diberikan kepada si pemberi? Rasa iba bercampur dengan gerutu? Berbeda halnya dengan tukang-tukang potong rambut bekerja mendapat uang tapi mereka memberikan jasa potong rambut yg sesuai kepada si pemberi uang. Ada hubungan timbal balik saling menguntungkan bukan membuat rugi salah satu pihak. Tukang potong rambut ini ternyata bekerja untuk si pemberi uang. Lalu pertanyaan berikutnya, kita bekerja untuk siapa?

Siapa adalah tentang orang, bisa saja tunggal atau jamak, tetapi siapa bukan tetang barang. Untuk siapa kita bekerja adalah untuk orang si pemberi barang atau keadaan.  Sering kita mendengar tentara-tentara bekerja untuk negara. Ini akan membingungkan jika para tentara ini bekerja untuk negara (barang abstrak) yang memberi barang atau keadaan yang mereka inginkan ,maka mereka bekerja tidak untuk orang-orang.  Aku lalu membayangkan berbagai macam tragedi kemanusiaan sering terjadi karena kerja-kerja atas nama barang abstrak : negara, perusahaan, bahkan (maaf jika sedikit sensitif menyinggung) atas nama Tuhan. Mengerikan! Atau kita memang pada dasarnya bekerja seperti tentara upahan, atau sebutan serdadu  yang asal katanya dari bahasa latin abad pertengahan : soldarius , artinya seseorang yang dibayar dengan solidus (koin yg dipakai pada masa kekaisaran Konstantin).

Namun bila kita bekerja untuk seseorang untuk merugikan seseorang yang lain, orang macam apakah kita ini? Tepatlah kita disebut apa bukan siapa karena kerja kita adalah alat. Untuk apa kita bekerja jika hanya sebagai alat untuk siapa? Jika memahami kita bekerja hanya sebagai alat, ternyata memahami untuk siapa kita bekerja tidak hanya tentang orang yang membayar kita (dengan barang maupun keadaan), tetapi juga tentang orang yang terdampak atas kerja kita.

Aku jadi teringat cerita pidato Mayor Isman yang mengubah jalan hidup Romo Mangun. Pidato yang membuat Romo Mangun memilih bekerja untuk rakyat kecil dibanding impiannya dulu : menikah dengan putri ayu, punya rumah, malam mingguan ,memiliki kehidupan seperti orang kebanyakan. Begini isi pidato Mayor Isman, seperti yang dituliskan dalam buku “Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat”:

“Kami bukan pahlawan. Kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam. Karenanya, kami minta tolong agar kami menjadi manusia normal kembali. Inilah jasa yang dapat anda berikan kepada kami yang menjadi korban revolusi, yang terpaksa membela tanah air dengan senjata.”

“Sebetulnya kami bukan pahlawan. Yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petani yang menghidupi kami. Jika belanda datang, kami lari. Memang bukan karena pengecut, melainkan karena kekuatan tidak seimbang. Tapi rakyat jelata tidak bisa lari. Mereka yang menjadi korban diperkosa, dibakar rumahnya, ditembak. Mereka yang berkorban, tetapi yang menjadi pahlawan bukan rakyat.”

Pidato Mayor Isman tadi membuka kesadaran bahwa kerja yang dilakukan para tentara pejuang untuk negara tersebut membawa dampak yang menyakitkan bagi rakyat kecil. Tentara memang menang tetapi banyak rakyat menjadi korban. Kita bekerja untuk siapa dan siapa akan menjadi korban, akankah keadaannya selalu  demikian?

Seandainya memang aku bekerja sebagai alat, aku lebih memilih menjadi alat untuk keadaan orang banyak yang lebih baik, itu saja. Sekarang pertanyaannya : untuk apa kita bekerja dan untuk siapa kita bekerja? Selamat menelisik kembali.

1/5/2015

Komentar

Postingan Populer