Kemiskinan dan Permukiman Spontan Kota

NILAI NILAI STRATEGIS PERMUKIMAN SPONTAN
(Ditulis pada pertengahan 2010 untuk BAB II tugas mata kuliah Seminar. Ternyata dapet nilai nggak bagus :D Walaupun begitu, saya senang, ternyata dari dulu tulisan saya begini)

 


Kemiskinan dan Pemukiman Masyarakat Menengah ke Bawah
Kemiskinan di perkotaan tidak muncul secara tiba-tiba. Seiring dengan urbanisasi : proses transformasi menjadi kota, dampak yang ditimbulkan tidak serta merta diikuti oleh urbanisasi manusia – warga kotanya. Tidak semua warga kota siap dengan konsekuensi hidup berkota, terutama para migran yang berasal dari desa ,yang menjadi cikal bakal kaum miskin kota.

Amartya Sen, ekonom dan pemenang hadiah Nobel dari India mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk bebas menjadi seseorang yang diinginkan. Tidak hanya dari keterbatasan finansial saja,tetapi juga dari berbagai macam dimensi, antara lain:

  1. Ketidakmampuan untuk memiliki penghasilan yang cukup dan stabil serta tidak adanya kepemilikan terhadap aset produktif;
  2. Tidak adanya aksesibilitas ke perumahan yang aman dan terjamin kepemilikannya; 
  3. Tidak adanya aksesibilitas ke pelayanan infrastruktur dan publik; 
  4. Tidak adanya aksesibilitas ke jaringan pengaman sosial dan perlindungan terhadap hak-hak legalnya; 
  5. Ketidakmampuan untuk memiliki kekuasaan, berpartisipasi dan mendapatkan rasa hormat dari orang lain.[4]
Berbeda dengan Amartya Sen, A.Ramlan Surbakti (1984) menjelaskan dua teori, yaitu Teori Marjinalitas (Theory of Marginality) dan Teori Ketergantungan (Theory of Dependency) yang memberi gambaran munculnya kemiskinan di perkotaan. Kemiskinan tersebut dipandang mengejawantah dalam bentuk permukiman-permukiman kumuh perkotaan.
 

Teori Marjinalitas melihat gejala permukiman kumuh sebagai hasil dari migrasi penduduk desa ke kota yang secara sosial, ekonomi,budaya, dan politik tidak berintegrasi dengan kehidupan masyarakat kota. Seolah-olah masyarakat ini tidak memanfaatkan fasilitas kelembagaan dan pelayanan kota – karena tidak berintegrasi dengan masyarakat kota. Secara Budaya masyarakat ini masih mengikuti pola hidup tradisional pedesaan dan terkurung dalam budaya kemiskinan kota. Secara ekonomi, mereka hidup seperti parasit karena lebih banyak menyerap sumber-sumber daya kota daripada menyumbangkannya, boros, konsumtif, cepat puas, tidak berorientasi pasar, tidak berjiwa wiraswasta, berproduksi secara pas-pasan. Secara politik mereka berwatak apatis, tidak berpartisipasi dalam kehidupan politik, mudah terpengaruh gerakan-gerakan politik revolusioner karena frustasi, disorganisasi sosial dan ketidakpastian yang mereka alami.[5]
 

Teori Marjinalitas menggambarkan penyebab munculnya permukiman kumuh di perkotaan adalah karena karakteristik masyarakat desa dan kota yang berbeda. Seakan tidak bersatu, seolah-olah para migran ini (oleh masyarakat umum) adalah sekumpulan alien yang mengganggu dan berbahaya – sumber dari berbagai penyakit masyarakat :kriminalitas, kekerasan, perjudian, dsb. Maka tidak heran jika masyarakat di luar mereka menjadi takut ,menjaga jarak ,hingga menolak keberadan mereka.

Berbeda dengan Teori Marjinalitas, Teori Ketergantungan melihat permasalahan tersebut sebagai fenomena masuknya ekonomi kapitalis ke pedesaan – melalui apa yang disebut Revolusi Hijau : intensifikasi dan ekstensifikasi dan komersialisasi pertanian untuk memproduksi pangan sebanyak-banyaknya. Revolusi hijau tersebut menyebabkan timbulnya ketergantungan pedesaan yang justru lebih besar kepada perkotaan karena kebutuhan industri pertanian: traktor, pestisida, pupuk kimia, mesin penggiling,dsb. didatangkan dari perkotaan. Permintaan yang begitu besar tersebut dimanfaatkan perkotaan untuk “memeras” pedesaan melalui permainan harga yang tidak seimbang. Lihat saja keluhan petani-petani terhadap harga pupuk yang semakin mahal sedangkan harga gabah semakin murah!

Hal ini mengingatkan pada fenomena analisis secangkir kopi[6]. Ignasi Carreras menuliskan bahwa suatu penetilian menunjukkan hanya beberapa persen dari harga jual kopi yang kembali ke petani kopi. Misal saja, dari harga kopi di kafe-kafe di perkotaan seharga Rp.30.000,00 ternyata hanya 7% yang kembali ke petani kopi di pedesaan!

Imbas dari kondisi tersebut adalah rasionalisasi pertanian-pertanian di pedesaan dan beralihnya pemilikan atas lahan-lahan pertanian ke sebagian kecil golongan yang lebih kaya. Muncul banyak pengangguran di pedesaan dan buruh-buruh tani ,yang pada akhirnya melakukan migrasi ke perkotaan.

Datangya penduduk pedesaan ke perkotaan tidak diikuti kemampuan dan keterampilan mereka bekerja di bidang formal karena perbedaan kualitas pendidikan desa-kota kita. Para pendatang ini kemudian bekerja di bidang informal : penjaja makanan, pedagang kecil, pemulung sampah, preman pasar,dsb. Seperti yang disebutkan Amartya Sen di atas, ketidakmampuan mereka terhadap aksesibilitas ke perumahan formal (karena mahal) yang aman dan terjamin kepemilikannya menyebabkan mereka tinggal di kampung-kampung kota atau menempati lahan-lahan kosong di perkotaan (permukiman spontan). Dengan kondisi seperti ini yang terjadi adalah penurunan kualitas lingkungan menjadi permukiman-permukiman kumuh.

Teori Ketergantungan mengungkapkan bahwa penghuni permukiman kumuh itu secara sosial,ekonomi, budaya ,dan politik berintegrasi ke dalam kehidupan masyarakat kota, suatu bentuk integrasi yang justru merugikan mereka.[7]
 

Tidak seperti Teori Marjinalitas, Teori Ketergantungan memandang secara sosial mereka memiliki kohesi (keterkaitan) kelompok dan berorganisasi (sederhana). Ada semacam kesepakatan bersama untuk tidak kembali ke desa mereka, karena tidak ada harapan hidup di sana. Disebutkan juga bahwa mereka sebenarnya juga ingin memanfaatkan fasilitas pelayanan dan kelembagaan di perkotaan, seperti pengakuan kependudukan (KTP), tetapi keberadaan mereka sering “dimanfaatkan” dan tidak diakui.

Secara ekonomi , penduduk inilah yang lebih banyak memberi kepada perkotaan tetapi sedikit menerima, atau tidak dihargai sesuai dengan kerja keras mereka. Cara pandang perkotaan yang lebih cenderung menghargai pekerjaan-pekerjaan jasa-produksi formal membuat kelompok kurang pendidikan ini dirugikan secara rasio pendapatan ,dianggap sepele pekerjaannya. Kerja otak dihargai lebih tinggi daripada kerja otot, padahal tidak jarang mereka bekerja lebih lama dan lebih banyak daripada yang menganggur di perkantoran (yang kadang tidak memakai otak).

Secara budaya, mereka yang tinggal di perkampungan kumuh sama dengan golongan lainnya hanya saja mereka ,oleh golongan yang lebih atas (misal :priyayi di Jawa), dianggap rendah. Mereka pada dasarnya juga ingin hidup layak, dengan bekerja keras (bahkan lebih keras dibandingkan golongan atas), ingin menyekolahkan anak-anaknya agar tidak seperti bapak-ibunya, tetapi cara pandang perkotaan merugikan mereka. Tidak sedikit dari mereka kemudian jemu, berpikir fatalistik, hingga mencari cara pintas melalui tindakan-tindakan kriminal.

Secara politik, mereka juga mempunyai kepentingan terhadap keputusan-keputusan yang menyangkut nasib mereka. Tetapi akses politik mereka sering dihalang-halangi (oleh kaum elit –golongan yang lebih tinggi)melalui intimidasi : ancaman penggusuran, pembakaran (bukan kebakaran) ,pemenjaraan, ketidakpastian,dsb.

Jadi, kemiskinan ,seperti yang disebutkan Amartya Sen ,khususnya dalam perspektif perkotaan di Indonesia disebabkan oleh sebuah kondisi yang memaksa perpindahan penduduk desa ke kota, bukan karena faktor internal masing-masing individu. Perpindahan penduduk tersebut terjadi akibat berbagai ketimpangan antara desa dengan kota : dalam hal infrastruktur, pendidikan,pendapatan,dsb, yang pada umumnya disebut sebagai faktor penarik timbulnya migrasi penduduk desa ke kota.

Ketidak-siapan penduduk desa untuk hidup di kota menempatkan mereka pada posisi dirugikan : tidak memiliki pendidikan, keterampilan yang dibutuhkan kota maupun harta milik ,bahkan pada tingkat pokok yakni perumahan. Pendatang yang tidak berpunya ini pada akhirnya menempati permukiman yang terletak sedekat mungkin dengan sumber mata pencahariannya serta terjangkau. Di kampung-kampung pusat-pusat kota.

 

Permukiman Kumuh dan Permukiman Spontan Pusat Kota 
Masyarakat menengah ke bawah membutuhkan perumahan yang terjangkau dan terletak sedekat mungkin dengan lokasi mata pencahariannya. Oleh karena itu pilihan yang paling mungkin adalah kampung-kampung lama di pusat kota ,yang menjadi terjangkau justru karena faktor lokasi yang tidak memunculkan biaya tambahan untuk transportasi.

Permukiman ini lambat laun kian padat karena permintaan sangat besar terhadap kebutuhan tempat tinggal. Hal inilah yang menyebabkan permukiman ini menurun kualitas lingkungannya[8]. Permukiman inilah yang dimaksud sebagai permukiman kumuh.

UN-HABITAT mendefinisikan rumah tangga kumuh sebagai sekelompok orang yang hidup di bawah di kota, dan tidak memiliki satu atau lebih dari lima kondisi berikut ini:
1. Rumah dari bahan permanen di lokasi yang tidak rawan bencana;
2. Area huni yang layak, sehingga tidak lebih dari tiga orang yang berbagi kamar;
3. Akses ke air bersih yang mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam harga yang terjangkau;
4. Akses ke sanitasi yang layak;
5. Kepemilikan lahan yang aman dan legal sehingga tidak rawan penggusuran.
[9]
 

Sedangkan istilah permukiman spontan (ilegal) perlu dibedakan dengan istilah permukiman kumuh ,di berbagai tempat masing-masing didefinisikan sebagai berikut:

  • Permukiman kumuh biasanya digunakan untuk menunjukkan area dengan kualitas perumahan yang buruk, infrastruktur yang tidak memadai, dan kondisi lingkungan yang terus menurun. Akan tetapi, penghuni biasanya memiliki kepemilikan lahan yang terjamin; baik sebagai pemilik, penghuni atau penyewa resmi atas tanah tersebut.
  • Permukiman ilegal biasanya digunakan untuk menggambarkan area di mana terdapat penduduk yang mendirikan rumahnya di atas lahan yang bukan miliknya, atau tidak memiliki ijin mendirikan atau menyewakan bangunan, dan biasanya membangun tanpa mengikuti aturan tata kota yang berlaku.

Mengarah kepada permukiman spontan, permukiman semacam ini ternyata lebih banyak menimbulkan konflik, terlebih berhubungan dengan tanah milik negara. Menurut catatan Endang Suhendar dari AKATIGA Bandung, di Jawa Barat saja pada tahun 1988-1992 terjadi 3200 konflik. 50% ternyata merupakan konflik rakyat melawan pemerintah; 37% antara rakyat melawan perusahaan swasta ; 11% sesama rakyat dan masing-masing antara sesama perusahaan dan perusahaan swasta melawan pemerintah.(Lubis ,2006)

Data sementara di Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pada 2004 menunjukkan ada sekira 10.000 kawasan kumuh di tanah air yang menggarap tanah negara atau perseorangan, dan dihuni sedikitnya 17 juta jiwa. Jumlah sebenarnya lebih banyak. Tapi mereka akan selalu rawan digusur, dan kerap dengan cara intimidasi, kekerasan, dan kadang menelan korban jiwa. Anak-anak warga gusuran ini, lalu berhenti sekolah, dan meneruskan kemiskinan seperti bapak ibunya.[10]
 

Konflik permukiman spontan , khususnya di tanah negara sejatinya bisa dipahami sebagai masalah penyerobotan lahan, perebutan sepenggal tanah karena alasan-alasan tertentu – yang tidak jarang naif : untuk ketertiban umum, demi kepentingan umum, untuk publik. Apakah tidak bisa dibayangkan melakukan penggusuran itu sebenarnya juga dapat disebut akan mengganggu ketertiban umum dan kepentingan umum? Penggusuran itu sama halnya dengan mencerai-beraikan tata kehidupan masyarakat yang sudah terbentuk. Aneh, ada sejumlah keluarga dibiarkan membentuk permukiman selama bertahun-tahun di sebuah tanah yang bukan milik mereka,lalu secara tiba-tiba tanah tersebut diminta kembali oleh pemiliknya? Ke mana pemilik tanah itu selama bertahun-tahun – apakah ke luar angkasa, sampai-sampai tidak sempat mengurusi tanahnya?

Ketidakjelasan konflik ini dapat dijelaskan jika proses terjadinya diketahui. Tjuk Kuswartojo,dkk membagi permukiman spontan perkotaan di tanah negara menjadi 5 tipe[11] berdasarkan proses terjadinya:

  1. Permukiman spontan yang diawali oleh beberapa pelopor, kemudian mengajak kerabatnya menduduki tanah tersebut. Pelopor-pelopor ini umumnya sudah mengetahui tanah tersebut , dan berarti sudah lama hidup di perkotaan.
  2. Permukiman yang dikoordinir secara ilegal. Koordinator ini mengatur dan mendapatkan imbalan atas pengaturan dan pendudukan tanah dari pihak yang datang kemudian. Dicontohkan adanya koordinator di Jakarta Utara yang melakukan pengurugan rawa, dan hasilnya dijual kepada mereka yang berminat dan mau mengambil resiko menduduki tanah yang tidak sah.
  3. Permukiman yang terjadi karena penjualan atau penyewaan secara ilegal oleh oknum instansi negara. Transaksi semacam ini tidak jarang menimbulkan efek berantai yang menjadi sangat rumit. 
  4. Permukiman spontan yang terjadi serempak, ada atau tidak adanya pengorganisasian. Permukiman spontan ini umumnya istimewa karena terjadi pada kondisi seperti: pengungsian oleh kondisi keamanan. 
  5. Permukiman spontan yang terjadi akibat perluasan permukiman yang berdampingan dengan tanah negara.
proses gentrifikasi



Nilai Nilai Strategis Permukiman Spontan 

Dengan lima gambaran munculnya permukiman spontan, terutama berhubungan dengan masyarakat menengah ke bawah, perlu dipertanyakan apakah program-program perumahan murah kita tidak terjangkau?

Semakin tumbuhnya permukiman spontan di pusat-pusat kota merupakan gejala yang menarik untuk ditelusuri dan semakin menguatkan gejala bahwa tanah-tanah di pusat kota semakin tidak terjangkau masyarakat menengah ke bawah. Bahkan munculnya permukiman spontan dapat juga digeneralisasikan merupakan indikasi bahwa kampung-kampung pusat kota yang kumuh pun sudah tidak terjangkau masyarakat menengah ke bawah.

Kondisi ini diamati serupa dengan penyebab utama migrasi penduduk desa ke kota, yaitu adanya cara-cara ekonomi kapitalisme, yang memunculkan spekulasi harga tanah sebagai bagian dari properti. Hal inilah yang menyebabkan harga tanah di pusat kota menjadi tinggi sedangkan di pinggiran kota murah. Ini dapat dipahami sebagai kondisi berantai yang pelik.

Kondisi seperti ini bila tidak ditangani dengan kesiapan yang cukup akan menyebabkan berbagai benturan kepentingan, yang sering terjadi pada umumnya yakni benturan antara kepentingan ekonomi dengan sosial – masyarakat yang tidak siap menghadapi kondisi berantai ini. Benturan benturan itu berwujud berbagai macam cara :intimidasi, penggusuran, hingga pembakaran. Terlebih dalam kondisi masyarakat menengah ke bawah ,benturan semacam ini akan semakin memperburuk kesejahteraan mereka.
 

Masalah tersebut sebenarnya dapat diselesaikan dengan lebih manusiawi bila hal permukiman spontan dipandang secara lebih luas :
  • Permukiman spontan merupakan solusi perumahan bagi masyarakat menengah ke bawah
Bila dilihat lebih dalam, permukiman spontan merupakan hal yang menggembirakan karena secara alamiah (spontan), masyarakat ini membangun di lokasi yang sesuai: mendukung perikehidupan dan penghidupan mereka. Permukiman spontan ini tidak seperti hotel, yang hanya dijadikan tempat ‘numpang’- bukan hanya tempat berteduh (shelter), tetapi juga tempat berkehidupan : dari warung-warung kecil hingga tempat perjudian.

Rumah – rumah di permukiman spontan dibangun tidak dari anggaran pemerintah atau pengembang-pengembang perumahan. Rumah-rumah ini dibangun dengan hasil keringat mereka sendiri - dari kardus bekas hingga tembok berplester, dari pulungan sampah hingga hasil kejahatan (sama saja dengan rumah-rumah mewah hasil kejahatan).

Dari permukiman – permukiman inilah industri-industri kota mendapatkan tenaga kerja murah , pemulung sampah-sampah yang dihasilkan golongan lebih mampu, tukang-tukang sapu dan sampah yang tidak jijik dengan kekotoran,dsb.
 

  • Memperbaiki perumahan yang kumuh tidak lantas memperbaiki permukiman kumuh.
Di sini jelas harus dibedakan, seperti definisi dalam UU No.4 tahun 1992 : permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan pedesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian plus prasarana dan sarana lingkungan(Kuswartojo , 1997: 21).

Penyelesaian permukiman bagi masyarakat menengah ke bawah kita sampai saat ini hanya menyelesaikan masalah perumahan. Walaupun ditambah dengan konsep perbaikan manusia dan perbaikan ekonomi, tetap saja gerakan permukiman ini seperti hanya menyentuh perbaikan lingkungan (fisik) : perbaikan rumah dengan konsep low cost housing, pekerasan jalan, membangun jaringan air bersih dan sanitasi,dsb.

Penyelesaian permukiman semacam ini seharusnya dikembalikan kepada definisi awal : tempat hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Jadi, apakah tepat pembangunan rumah murah di daerah yang justru jauh dari penghidupan sasarannya (padahal ini sifatnya fisik)? Dr. Albert Wijaya menyatakan bahwa usaha pembangunan pemukiman bagi masyarakat menengah ke bawah di kota mempunyai multiplier effect yang besar bila dapat menjamin kelangsungan pekerjaan penghuninya tanpa penambahan biaya transpor ke tempat kerja(Budiharjo :2009. Hlm.121). Contoh perumahan murah oleh perumnas-perumnas di Kota Semarang : Banyumanik dan Tlogosari, (pada awal perkembangannya) justru terletak jauh dari pusat kota. Juga perumahan tumbuh oleh Yayasan Sosial Soegijapranata di daerah Mangunharjo,di pinggiran Kota Semarang yang sampai awal 2009 belum tejamah jaringan air bersih kota dan komunikasi.[12]
 

Permukiman Spontan dan Sabuk Hijau Kota
Permukiman spontan di tanah negara di pusat kota pada umumnya menempati daerah yang menurut peraturan tidak boleh didirikan bangunan, area-area sabuk hijau kota : DAS (daerah aliran sungai) kota, area resapan kota. Menarik sekali, karena umumnya area ini dianggap sebagai penyangga kota dari bahaya seperti banjir dsb. Padahal sebenarnya ada keterkaitan bukan hanya aera sempadan sungai saja, tetapi menyangkut seluruh kota,termasuk daerah-daerah resapan di hulu sungai.

Permukiman – permukiman semacam ini kemudian tumbuh pesat, dan tampak dibiarkan tumbuh. Kemudian, mungkin berkaitan dengan tujuan tertentu, pemerintah kota menggusur permukiman ini untuk dijadikan taman - hutan kota. Padahal pengalaman di berbagai negara menunjukkan taman-taman seperti ini adalah sarang kriminalitas yang memerlukan biaya sangat besar :untuk merawat dan menjaganya. Taman-taman kota kita juga sudah menunjukkan hal itu:taman tidak terawat,dsb.

Penyelesaian yang lebih tepat yaitu dengan melibatkan partisipasi warga kota, khususnya warga di permukiman spontan untuk menjaga dan merawat daerah yang mereka tinggali. Bila daerah tersebut kumuh, maka harus diperbaiki, bukan dipindahkan ke tempat tidak jelas.







 

[4] UNESCAP dan UN-HABITAT ,2008,Panduan Ringkas Untuk Pembuat Kebijakan. Perumahan bagi Kaum Miskin di Kota-kota Asia. Buku 1:Urbanisasi, hlm.10
[5] Khudori, Darwis.2002.Menuju Kampung Pemerdekaan – Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya – Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code. Yogyakarta:Yayasan Pondok Rakyat. Hlm. 119-121
[6] Mgr.Suharyo,2009,The Catholic Way. Kekatolikan dan Keindonesiaan Kita,Yogyakarta: Kanisius, hlm.148
[7] Khudori, Darwis. Ibid.
[8] Kualitas lingkungan berdasarkan KEPMENKES No.829/1999 mencakup lokasi,kualitas udara,kebisingan dan getaran, sarana dan prasarana lingkungan, pencahayaan, air, kepadatan hunian ruang tidur, dsb.
[9] UNESCAP dan UN-HABITAT,ibid. Hlm.15
[10] Lubis, Bersihar ,2006, Merdeka Tapi Tidak Punya Tanah
[11] Kuswartojo, Tjuk, dkk. ,2005, Perumahan dan Permukiman di Indonesia ,Bandung, Penerbit ITB : 161
[12]Mario,dkk, Laporan kunjungan lapangan M.K Perbaikan Lingkungan, 14 Maret 2009


Komentar

Postingan Populer