CATATAN SERABUTAN



Kamu ngapain sih, di gubuk pinggir sawah yang nyaris tidak selesai itu?”

emangnya udah selesai? Hmmmm…..”, berpikir sebentar. “Tukang-tukangnya lembur”. Dalam seminggu lalu, memang Pak Singgih ingin agar pekerjaan fisik untuk homestay-homestay dipercepat, satu-satunya cara dengan lembur.

Saya tau, di tempatku, di Balun, di pinggir sawah itu tukang-tukang hanya bekerja lembur tidak sampai jam sepuluh malam. Berbeda halnya di Kelingan, di kebun kopi milik Pak Tom, tukang-tukang bekerja lembur hingga larut malam, bahkan pernah kami tunggui sampai sekitar jam 2 dini hari, walaupun yang tersisa hanya 2-3 orang.

“Maksudku, kenapa dalam beberapa hari ini, di tempatmu seperti menjadi lebih cepat pekerjaannya dibanding di tempat Erik, di Kelingan. Kita tau, di sana tukang-tukang juga lembur, bahkan jauh lebih malam?”

“iya sih, mungkin di tempatku yang lembur lebih banyak”

Ia tampak menyengitkan dahi, sepertinya tidak puas dengan jawabanku, lalu pergi. Saya juga pergi.

....................................................................................................
Dalam presentasi perkenalan di hutan bambu saya katakan :“Saya hanya membantu Erik dan Helmi, saya tidak mendesain apapun di sini, saya hanya melakukan finishing….” Saya menengok ke belakang, Helmi mangap-mangap sambil bilang “touch”. “Ya, sentuhan finishing, finishing touch”. Lalu Pak Singgih menimpali peryataan itu : “kalau tidak kamu sentuh, pekerjaan itu juga tidak akan selesai”. Saya cuma nyengir. “Sepertinya perkenalan saya cukup, nanti bisa semakin absurd kalau dilanjutkan, hehe”. Akhirnya saya berhenti dan kembali ke depan laptop, menjadi operator untuk presentasi Erik dan Helmi.

Waktu itu saya tidak mempersiapakan materi presentasi apapun, berusaha terus mengelak saat diminta presentasi bersama Erik dan Helmi mengenai desain  homestay di tiga tempat berbeda : di sawah Mas Yudhi di Kandangan, di pinggir sawah di Balun, dan di kebun kopi milik Pak Tom di Kelingan. Apa yang mau diceritakan? Saya juga tidak pandai bercerita.

....................................................................................................
Pagi menjelang siang ,setelah makan soto gratis di terminal Maron, saya sampai di Balun dengan angkot merah, hari itu selasa, kurang seminggu lagi tamu-tamu akan datang menginap di tempat ini. Di homestay Balun, atap kamar mandi belum terpasang, dinding homestay di lantai 2 belum satupun terpasang, lantai 1 masih berantakan.

fiber gelombange dereng dugi pak? Enjing wau mas niko (Helmi) sanjang pun dipesenke.” (fiber gelombangnya sudah datang belum,pak? Tadi pagi mas niko bilang kepada saya kalau sudah dipesan.) Beberapa kali saya tanyakan itu kepada tukang.

Dereng mas, biasane sore nembe dugi, malah tau tukange meh sami kondur, nembe dugi” (belum, mas, biasanya sore baru datang, malah pernah pengantar material datang sesaat sebelum tukang akan pulang). Ternyata hal-hal non teknis seperti ini yang membuat pekerjaan molor. Bagaimana bisa bekerja kalau bahan bangunannya tidak ada? Sabar. Pura-pura menggambar kamar mandi aja lah. Biar kelihatan sibuk, pikirku.

Beberapa saat kemudian Helmi datang. “Loh, durung mangkat Semarang? Tanyaku. (Loh, belum berangkat ke Semarang?) Helmi menjawab baru akan berangkat. Ia tadi pusing berkeliling mencari tempat untuk mencetak jadwal dan daftar pekerjaan yang harus diselesaikan minggu ini. Ia tidak membawa kertas jadwal dan daftar pekerjaan itu. “ Mengko tak kirim lewat email wae ya. Mau pas meh ngeprint datane trobel”(nanti saya kirim lewat email saja, tadi saat akan mencetak, datanya bermasalah), kata Helmi kepada saya yang kemudian diulanginya lagi lewat sms setelah ia pergi, begini : ”mau pas meh ngeprint datane corrupt, padahal aku dudu koruptor lho” (Tadi waktu mau mencetak, datanya corrupt, padahal aku bukan koruptor). Dasar! Ada-ada saja guyonannya di saat genting seperti ini.

Siang menjelang sore, di kejauhan langit sudah mulai gelap, mendung. Cuaca akan tidak bersahabat untuk melakukan pekerjaan pembangunan kalau sudah mulai turun hujan. Setidaknya sampai besok rabu, sampai Helmi kembali setelah mengurus wisudanya di Semarang, saya harus sendirian memastikan daftar pekerjaan-pekerjaan yang dibuat Helmi bisa terlaksana sesuai jadwal. Hari minggu, hari H, homestay Balun mesti rampung.

....................................................................................................
Sabtu siang, H-1 Pak Singgih berkunjung ke homestay Balun. Jadwal pekerjaan yang direncanakan Helmi molor, akhirnya dua halaman kertas A4, yang sudah dicetak dan saya bungkus plastik agar tidak basah itu hanya tergeletak di lantai 2 homestay, tak pernah lagi dilihat. Saya ingat, ketika daftar itu saya cetak lalu saya tunjukkan ke Pak singgih, beliau menyoroti satu kata di kolom keterangan, dicetak dengan huruf kapital: SELESAI . “Selesai?” Tanya Pak Singgih, dilanjutkan dengan komentar : “Tidak akan selesai”.

Saat ini, semua dinding sudah hampir terpasang semua. Dinding bagian utara-selatan, sedikit aneh, walaupun saya lihat sudah sesuai gambar rancangan Helmi di sketchup. Ini juga yang dikritik Erik saat berkunjung kemari kemarin : “Ku kira dinding bagian situ akan dipasang kaca, makanya aku tiru juga di Kelingan. Kenapa sekarang ditutup papan? Menurutku jadi aneh”. Saat ini, Pak Singgih yang melihat dinding bagian itu juga merasa aneh.

“Papan-papan di dinding sini sepertinya menghalangi pandangan ke sawah. Jadi sayang sekali, padahal pemandangannya sangat bagus. Bagaimana kalau dicopot saja?”

Pak Singgih bertanya ke saya sambil menunjuk dinding bagian utara. Di sini juga ada dua tukang yang sedang memasang papan-papan dinding sebelah selatan yang belum selesai dikerjakan. Kasihan juga tukang-tukang ini, baru beberapa saat dinding dipasang, sebentar lagi terancam disuruh bongkar.

Mas, blabak kae tulung dicopot, tak mirsani, apik opo ora?” (Mas, papan kayu itu tolong dicopot, saya ingin lihat, bagus atau tidak). Pak Singgih meminta tukang yang sedang bekerja memasang papan di dinding selatan itu mencopot papan-papan di dinding utara. Tukang itu tampak bingung. Saya lalu menambahi: “Njajal sik mas, apik opo ora” (Coba dulu mas, bagus atau tidak).

“Menurut saya, sayang juga sih, pemandangannya jadi tertutup. Bagaimana kalau dibuat lubang selang-seling, Pak? Jadi hanya beberapa papan yang dicopot.”

“Coba saja”

Tukang akhirnya membongkar satu papan, saya mengarahkan papan mana saja yang perlu dihilangkan. Dua papan. Tiga papan.
“Bagaimana Pak? Sudah lumayan bagus kan?”

“Tapi masih nanggung, lubang-lubangnya jadi kelihatan tidak bagus, nanti dipikirkan lagi saja polanya, pertemuan papan-papannya. Kalau menurut saya, masih sayang, mending dibongkar semuanya saja. Menurutmu bagaimana?”

Berpikir sebentar. “Kalau begitu, kita bongkar saja pak!”

Mas, blabak-blabake sing sisih lor karo kidul dibongkar sedanten nggih”(mas, papan-papan kayu di utara dan selatan dibongkar semua ya). Saya dan Pak Singgih akhirnya meminta tukang-tukang yang sedang memasang papan-papan dinding selatan menghentikan pekerjaan memasang papan, lalu membongkar pekerjaannya itu.

Dibongkar sedanten mas?”(dibongkar semua mas), tukang coba memastikan kepada saya.

nggih”(ya).

Inspeksi berlanjut, kali ini yang kena meja hasil ide iseng saya.

“Mas, meja ini menurut saya masih ketinggian. Kalau orang mainan laptop di sini masih nggak enak”. Sambil bersila, Pak Singgih memeragakannya. Meja-meja itu sebenarnya sudah selesai dipasang semua, tinggal menambahkan tangkai penyangga saja. Saat ini terancam dibongkar juga. Padahal dulu saya dan Helmi juga memeragakan meja itu juga, berulang-ulang, sampai ketemu posisi yang masih ketinggian itu.  Memang, untuk keadaan yang lebih baik, revisi sangat perlu dilakukan.

Meja-meja yang sudah terpasang itu pun akhirnya dibongkar juga. Diturunkan sedikit posisinya, sehingga menyisakan lubang yang tidak terduga antara balok kayu horisontal yang segaris lubang jendela dengan posisi meja hasil revisi. Dua balok kayu tegak ,yang menurut saya terlihat tempelan pun ditambahkan sebagai tumpuan engsel meja. Tidak ada cara lain yg lebih praktis. Dan cepat.

Pelajaran hari ini dan untuk selanjutnya : Ingat ergonomi! Coba dulu desainmu berulang-ulang, sudah enak atau belum? Jangan buru-buru memutuskan.

“Lubang-lubang ini nanti ditutup multipleks 18mm ya pak? Saya tadi sudah beli. Kemarin kurang karena dipakai orang pabrik. Harusnya multipleks itu dipakai buat ini”.

“Wah, jangan. Menurut saya nanti jadi terlalu industrial”

“Mati, baru beli multipleksnya, mau diapakan nih? Mubadzir dong. Masa dibalikin lagi ke toko?” pikir saya.

“Maksud saya, multipleks itu nantinya pasti akan terpakai, mungkin untuk kebutuhan yang lain tapi jangan untuk dinding ini. Kalau papan saja sepertinya bagus”. Pernyataan Pak Singgih itu membuat saya agak lega.

“Papannya terlalu kasar pak. Mungkin akan lebih bagus kalau dilapis kepang, tapi akan makan waktu”.

“menurut saya, sementara ini begini saja sudah bagus”

“Maksudnya? Bagian yang bolong-bolong itu tidak perlu diselesaikan sekarang? Tanya saya.

“Iya, cukup meja itu saja, menurut saya sudah bagus. Yang penting fasilitas fisik untuk kebutuhan dasar terpenuhi, listrik, kamar mandi, dinding luar, pintu dan jendela terpasang. Cukup.”

Kemarin saya sempat mendengar cerita kalau Profesor dari Jepang – entah yang mana, menyarankan sesuatu kepada Pak Singgih. Bangunan-bangunan homestay tidak mungkin 100% selesai pada saat konferensi, tapi skenarionya bisa dibuat seolah-olah seperti itu, tidak selesai. Kondisi tidak selesai seperti ini tentu memunculkan dugaan positif bermacam-macam. Salah satunya, supaya bisa menarik simpati peserta agar memberi bantuan dana lagi, atau supaya peserta seolah-olah dilibatkan dalam proses penyelesaian homestay-homestaynya, entah itu dalam bentuk kerja fisik maupun gagasan.

Ah, sudahlah! H-1 listrik belum terpasang, kamar mandi juga belum selesai, saya makin optimis besok homestay ini sudah layak ditinggali walaupun tidak sepenuhnya selesai.

....................................................................................................
“Eh bro, liat nih, Anjiiirr! Kusen standar Magno, bro! Rapi banget kerjaannya. Liat nih sambungannya, juga cara menentukan titik-titik sekrupnya digambar dulu, semuanya biar presisi.  Lu tau nggak, yang bikin bagus bangunan ini apa?

“Apa?”

“Pintu-pintu sama jendela-jendelanya, bro! Standar Magno, hahaha”.

Darman berkomentar saat melihat pintu-pintu homestay Balun terpasang. Sebelumnya ia juga pernah berkomentar serupa, saat memegang potongan kayu-kayu daun pintu dan jendela itu di workshop Magno, sesaat setelah mas Shodiq dan satu temannya lagi - saya lupa namanya - selesai memotong sambungan-sambungan kayunya.

Daun-daun jendela dan pintu untuk homestay Balun memang dibuat oleh beberapa karyawan Magno di workshop. Beberapa hari menjelang hari H, kegiatan produksi di workshop Magno sebagian besar dialihkan untuk membantu menyelesaikan fasilitas fisik acara ICVR. Sangat terbantu. Setidaknya, ada sedikit roh Magno hadir di bangunan homestay Balun – yang sering dikatakan Helmi, bangunan kayu karya tukang-tukang batu.

Pernah juga Helmi cerita kepada saya tentang karyawan Magno yang bingung karena lubang kacanya kurang 1mm : “halah, kurang 1 mili wae dadi masalah, dewe biasane malah 3cm (1 milimeter saja sudah jadi masalah, kita biasanya malah 3 cm)”. “Kita???? Elu ama gue aja keless”. Karyawan-karyawan Magno memang terbiasa bekerja dengan tingkat detil tinggi, jadi bila ada sedikit saja pekerjaan yang tidak presisi, tidak akan ditolerasi.

Pantas saja, terlihat hasilnya.

....................................................................................................
Minggu malam, saat ini semua peserta full-program sedang berada di penginapan di Tembi, Jogja. Malam ini saya sendirian (mungkin nanti ada Mas Fat, orang yang berjaga setiap malam di sawah ini),  menginap di homestay Balun yang belum jadi. Pintu-pintu dan jendela-jendela belum dipasang karena sedang diperbaiki di workshop Magno, tangga menuju lantai 2 belum bisa digunakan, lantai 1 masih berantakan, instalasi listrik sampai detik ini masih dipasang oleh tukang listrik yang terpaksa ikut bekerja hingga malam.

Sudah pukul 9 lebih, malam ini ternyata purnama, cahayanya agak redup karena kabut mulai muncul. Tukang-tukang masih bekerja , menyelesaikan pengecoran penutup septic-tank di lantai 1 dengan diterangi satu lampu neon panjang, terang, sementara di lantai 2, tempat saya tidur malam ini gelap, tidak ada lampu sama sekali. Tak masalah. Hamparan sawah hingga kejauhan malah menjadi terlihat jelas, purnama, dan kabut tipis, mistis, indah sekali. Lalu, angin semilir – tidak begitu dingin - seperti berbisik, “Kau tau tidak? Terkadang jatuh cinta itu datang di kejadian yang sangat sederhana”. Ya. Begitu sederhana, saya jatuh cinta pada tempat ini.

....................................................................................................
“Apakah saya harus pindah ke desa?” Tanya seorang peserta konferensi kepada Pak Iskandar pada sesi tanya jawab siang itu.

Terlepas dari pertanyaan tersebut yang sebenarnya membahas makanan sehat, saya menduga semua peserta lain yang berasal dari kota – baik itu asli kota atau pendatang dari desa juga – merasa tergiring pada suatu jawaban tunggal : desa adalah jawabannya, it’s time back to village! Tapi, apakah memang begitu? Kasihan sekali kota, dia bukan jawaban.

Menjelang pulang ke kotanya, seorang teman menulis di akun media sosialnya :“It’s time back to reality”

....................................................................................................


Komentar

Postingan Populer