Berbagi 1/2

Isu sosial dalam arsitektur mungkin saja sudah usang bagi sebagian orang, tapi tidak dengan saya. Apalagi untuk sebuah rumah tinggal privat, isu sosial tidak dapat dilepaskan begitu saja. Ibarat ikan yang tidak bisa lepas dari air, rumah juga akan mati bila dilepaskan dari konteks lingkungannya.

Rumah Sendiri
Desain ini adalah sedikit impian rumah ,tempat tinggal keluarga kami nanti. Berdiri di perkampungan di daerah perbukitan Semarang atas yang kian hari semakin padat. Masih saya ingat, ketika usia TK (atau SD) di depan rumah kami ada tanah kosong dengan pohon jambu yg sering saya panjat, sekarang sudah menjadi rumah.Juga ada satu lapangan badminton tempat dulu anak-anak bermain bola dan satu-satunya tempat yang bisa digunakan untuk 17an saat ini juga sudah menjadi rumah. Dan akhir-akhir ini, lahan kosong di RT sebelah dibangun rumah-rumah petak untuk kemudian dijual lagi: trik menjual tanah saat ini agar punya nilai lebih tinggi.

Sekarang tak ada lagi ruang tempat anak-anak bermain kecuali rental PS dan jalanan. Fasilitas warga pun tak ada, sampai beberapa tahun lalu muncul pos ronda di lahan kami. Hibah buat RT, walaupun waktu itu saya agak sedih karena hilanglah kebun tempat pohon jambu air cangkokan yg rasanya agak sedikit kecut (asam) itu. Pohon itu dulu sering saya panjat juga, sambil membaca buku di atasnya selepas pulang sekolah. Saat ini pos ronda itu berubah menjadi gudang peralatan RT. Bapak-bapak sudah malas begadang untuk mencari maling yang memang sudah jarang berkeliaran di malam hari. Muspro (mubazir)

Di samping pos itu ada sumur gali sedalam 25 meter yg umurnya lebih tua dari saya. Masih aktif sampai sekarang, masih agung(mengeluarkan air) juga di musim kemarau meski sedikit keruh setelah beberapa kali angkat (cara mengambil airnya masih dikerek). Sumur ini menjadi alternatif ketika pasokan air PDAM berhenti. Hampir tiap hari pasokan air di RT ini tersendat, mungkin akibat beberapa warga yg memodifikasi pipa PDAM agak lebih dulu air mengalir ke penampungan di rumahnya. Tidak hanya pencurian listrik, ternyata pencurian air juga ada!

Setengah Untuk Warga, Setengah Untuk Privat
Dari pos ronda dan sumur itulah kemudian munculah ide membuka setengah lahan rumah ini untuk warga. Terbuka, tanpa pagar, biar mobil tetangga sesekali masih bisa parkir di halaman kami. Ide membiarkan warga memakai sebagian halaman rumah sebenarnya sudah umum terjadi di kampung-kampung di negeri ini, tidak ada hal yang baru, tidak ada hal yang spesial, selain komitmen bahwa setengah lahan ini tidak akan ditutup untuk warga. Dalam rencana pengembangan rumah ini pun dipikirkan tidak akan berkembang melebar, tapi bertumbuh ke atas. Bahkan pos ronda tidak akan dibongkar karena memang itu satu-satunya tempat untuk menyimpan
satu dua lantai
rencana pertumbuhan jadi 3 lantai
Setengah ruang untuk warga, setengahnya lagi untuk privat. Kedua area itu lalu dibatasi jelas dengan dinding bambu sekaligus pintu. Masif sekali meski materialnya lunak. Dari dinding inilah ruang privat dimulai. Begitu masuk langsung bertemu dengan persimpangan, ada dapur di sebelah kanan- dibalik dinding bambu itu, dan tangga menuju lantai 2 di sebelah kiri, lurus saja ada ruang serbaguna dengan pemandangan halaman cukup luas menghadap ruang sebaguna dan dapur : cocok sekali untuk tempat anjing kami bisa berlarian tanpa menggonggongi tetangga yg lewat.

Menurut saya, dapur ini jadi ruang yg cukup menarik. Massanya tipis sejajar dinding bambu , dapur seakan menjadi batas ditengah-tengah, dengan atap setengah dak dan setengah lagi transparan untuk menghemat biaya. Di atas atap transparan itu nantinya akan dibuat rangka-rangka besi agar  pot-pot tanaman bisa diletakkan di situ. Ibu masih bisa menanam sedikit tanaman cabe atau tomat atau yang lainnya di situ. Pot-pot tanaman ini juga akan mengurangi intensitas panas yg masuk ke dalam ruang dapur dan menjadi efek yang menarik seperti studiO cahaya-nya Mamo (arsitek - Adi Purnomo).

Lantai satu untuk area yang lebih bisa diakses umum, sedangkan lantai 2 lebih privat, tempat istirahat, esensi rumah sepertinya memang demikian, karena hampir seperempat hari kita dihabiskan di tempat tidur. Ketika salah satu juri bertanya : "Di lantai 2 kok tidak ada tempat berkumpul ya? Lalu di mana ruang sesama anggota keluarga itu saling berkomunikasi?" Saya bilang :"Ya, di bawah, di atas tempat istirahat". Sederhana saja, karena yang saya inginkan, seperti TV dan hiburan-hiburan lain sebaiknya diletakkan di ruang serbaguna di lantai 1 saja, untuk menghindari anak-anak atau orang tua sibuk di kamar tidurnya masing-masing. Kamar tidur di lantai 2 juga dibuat kompak, tidak terlalu besar, sehingga cuma ranjang, meja belajar, dan lemari baju saja cukup untuk mengisi ruang istirahat itu. Tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, cukup saja.

Masih di lantai 2, atap massa dapur direncanakan untuk tempat berkebun kecil, tidak akan cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tapi cukup membantu menghemat biaya belanja rumah tangga, terlebih ibu memang suka berkebun. Bukan atap berumput lho, hanya pot-pot tamanan yang diletakkan di atas atap. Kebun kecil inilah yg bisa membuat ruang di bawah sedikit lebih dingin.

Ekspresi rumah ini malah kemudian menjadi seperti rumah panggung, umum dijumpai pada arsitektur-arsitektur tradisional nusantara. Hampir sama fungsinya, kolong sebagai area publik, sedangkan lantai di atasnya sebagai ruang tinggal. Salah satu juri berkomentar : "Rumah ini tropis sekali, seperti rumah panggung, seperti arsitektur tradisional namun dirancang dengan prinsip penataan ruang yang sangat modern. Hanya saja kalau atap fibersemen itu diganti dengan atap genteng, pasti lebih baik".
Spekulasi Itu Perlu Dibuktikan
Atap fibersemen (orang awam bilang asbes) itu kan panas? Apalagi tertutup begitu. Sudah panas, tidak ada pemandangan ke arah taman pula. Begitu kira-kira pendapat juri. Betul juga ,namun pertimbangan saya justru bagaimana membuat generator pergerakan udara bisa berhasil, spekulasi! Prinsipnya dinding yg relatif panas itu diharapkan bisa menarik udara dari kolam bawah yg relatif dingin, mengalir melewati kamar tidur melalui gril-gril di pertemuan antara lantai dan atap. Sesederhana itu. Iklim di negeri ini memang panas, hanya pergerakan udaralah yg membuat kita menjadi nyaman. Bagaimana kita bisa menjelaskan sensasi nyaman duduk di bawah pohon sedangkan di sekelilinya panas menyengat? Udara yg bergerak! Untuk membuat udara bergerak perlu ada sesuatu yang panas dan yang relatif lebih dingin, jadilah bentuk rumah ini! voila!!

oya, bentuknya kok jadi kayak rumah uay-nya Yu Sing ya?Atau wisma kuwera-nya Romo Mangun, atau mirip apa lagi? Jelas memang ,saat ini bentuk itu yang paling efisien! Atap sekaligus dinding!

Jakarta,11-10-12








Komentar

Postingan Populer